ANAMNESA

Definisi: Cara untuk mengetahui penyakit dengan wawancara, menanyakan, mengecek, dan mendengar jawaban penderita untuk mensintesis diagnose.
 Anamnese yang baik dapat menyatakan 60% diagnose. Cara anamnesis dapat dilakukan dengan komunikasi verbal maupun non-verbal, terutama Indonesia perlu sekali mengamati komunikasi non verbal.
 Secara verbal ada 3 anamnesis:
1. Terbuka / open ended : Apa yang dikeluhkan, coba ceritakan dgn jelas?
2. Lebih terbatas: Berapa umur anda? Obat apa saja yang sudah diminum?
3. Jawaban ya / tidak: apa anda punya sakit gula?
 Secara non verbal:
1. Kinetik / bahasa tubuh : isyarat, raut muka, cara berjalan, posisi tubuh
2. Sentuhan : jabatan tangan (nervous), hipetiroid (gemetar)
3. Penggunaan aksen / perubahan kualitas suara
 Anamnesa yang utama dinamakan The Fundamental Four atau 4 pokok pikiran, yaitu keluhan utama, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, serta riwayat kesehatan keluarga dan sosial ekonomi.

1. Identitas Pasien
 Nama
Dengan nama kita bisa mengetahui berasal dari daerah mana orang tersebut (misal: ucok asalnya dari batak) dan mengkaitkan dengan penyakit yang endemis di daerah tersebut.
 Alamat
Dapat dikaitkan dengan penyakit yang endemis di daerah pasien.
 Pekerjaan
Misal seorang petani dengan anemia berat, jangan dilupakan kemungkinan ankilostomiasis (petani bekerja pada tempat yang menjadi habitat Ancylostoma duodenale)
 Umur
Penyakit yang berhubungan dengan umur: DM tipe I, Idiophatic Thromboscitemia, SLE
 Jenis kelamin
Untuk wanita jangan dilupakan masalah menstruasi
2. Keluhan utama
 Merupakan keluhan dari penderita yang membawa dia ke dokter, ditulis cukup hanya 1 kalimat, bila banyak keluhannya tanyakan mana yang paling mengganggu penderita
3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
 Riwayat penyakit yang diutarakan penderita yang menyertai keluhan utama
 Ada 7 butir mutiara anamnesis dalam menggunakan anamnesa untuk mengorek informasi tentang riwayat penyakit sekarang
Lokasi Mengetahui di mana tempat yang menyebabkan keluhan. Bila pasien tidak dapat menunjukkan tempat, dokter dapat mengajukan pertanyaan yang terarah dan mendapatkan petunjuk tempat, jenis, dan berat ringannya penyakit pasien
Kualitas Pertanyaan-pertanyaan yang dipakai misalnya:
Seperti apa nyeri/ pusingnya? Terus-menerus/ fluktuatif?
Kuantitas Seberapa hebatkah keluhan – keluhan itu? Seberapa sering dialami?
Kronologis Kapan timbulnya dan bagaimana perkembangan keluhan selanjutnya
Onset Adalah suatu gejala/ permulaan timbulnya suatu gejala, dapat diartikan sebagai keadaan di mana suatu keluhan mulai timbul
Misal: stroke onsetnya mendadak, DM bersifat progresif
Faktor pencetus Hal-hal yang memperingan dan/ atau memperberat keluhan. Adakah faktor-faktor yang menimbulkan rasa sakit tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan di atas bisa menerangkan jenis penyebabnya, yaitu apa mekanis, biokimia, psikomatis, organis, dll.
Gejala yang menyertai keluhan Setiap penyakit mempunyai berbagai macam gejala. Di samping gejala yang menjadi keluhan utama, harus dicari gejala - gejala lainnya karena dengan demikian kita kita dapat menentukan jenis penyakit dan mudah memberikan pengobatan
4. Riwayat Penyakit dahulu (RPD)
 Riawayat penyakit yang dikatakan penderita terhadap penyakit sebelumnya. Kegunaannya untuk mengetahui kemungkinan hubungan dengan penyakit yang di derita saat ini.
a. Ada hubungan antara penyakit dahulu dan sekarang
Misal 15 tahun yang lalu menderita sakit kuning, sekarang datangn dengan menderita muntah dan berak darah. RPS adalah sirosis
b. Tidak ada hubungan dengan penyakit sekarang
Misal dulu pernah terkena sakit sendi, sekarang terkena HIV
c. Tidak ada hubungan dengan penyakit sekarang tetapi saling memberatkan
Misal HIV dengan Tuberkulosa
5. Riwayat Kebiasaan
 Misalnya merokok, minum-minuman keras, pemakaian obat bius, dll. Tujuannya adalah mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit yang sedang dideritanya. Hal ini juga untuk memberi nasehat kepada pasien dalam mengatur pengobatan.
6. Riwayat gizi
 Misal penyakit oleh karena kurang gizi: marasmus
7. Riwayat Sosial Ekonomi
 Terkait dengan kondisi lingkungan (higienitas), kemakmuran, dll. Harus diperhatikan juga adanya tekanan ekonomi dan sosial dapat memacu kecemasan dan menimbulkan psikosomatis.
8. Riwayat Kesehatan keluarga
 Banyak penyakit yang ditimbulkan karena keadaan keluarga yang tidak sehat atau juga karena penyakit yang diturunkan. Keterangan tentang keadaan keluarga akan mengungkapkan faktor-faktor etiologi yang penting. Beberapa penyakit yang herediter, misalnya DM dan asma bronkiale. Hal ini penting karena penatalaksanaannya yang didapat dari keturunan berbeda
9. Anamnese Sistem
 Adalah anamnese yang dibuat dari rambut s/d ujung kaki (kuku), tujuannya untuk mengulangi anamnese bila ada hal yang terlewatkan atau terlupakan
a. Kepala: sefalgia, vertigo, trauma kapitis, nyeri sinus
b. Mata: visus, diplopia, fotofobia, lakrimasi
c. Telinga: pendengaran, tinitus, sekret, nyeri
d. Hidung: pilek, obstruksi, epistaksis, bersin
e. Mulut: geligi, stomatitis, saliva
f. Tenggorok: nyeri menelan, susah menelan, tonsillitis, kelainan suara
g. Leher: pembesaran gondok, kelenjar getah bening
h. Jantung: sesak napas, ortopnu, palpitasi, hipertensi
i. Paru: batuk, riak, hemoptisis, asma
j. Gastrointestinal: nafsu makan, defekasi, mual, muntah, diare, konstipasi, obstipasi, hematemesis, melena, hematoskezia, hemoroid.
k. Saluran kemih: nokturia, disuria, polakisuria, oligouria, poliuria, retensi urin, anuria, hematuria
l. Alat kelamin: fungsi seks, menstruasi, kelainan ginekologik, good morning discharge
m. Payudara: perdarahan, discharge, benjolan
n. Neurologik: kesadaran, gangguan saraf otak, paralisis, kejang, anestesi, parestesi, ataksia, gangguan fungsi luhur
o. Psikologik: perangai, orientasi, anxietas, depresi, psikosis
p. Kulit: gatal, ruam, kelainan kuku, infeksi kulit
q. Endokrin: struma, tremor, diabetes, akromegali, kelemahan umum
r. Muskuloskeletal: nyeri sendi, bengkak sendi, nyeri otot, kejang otot, kelemahan otot, nyeri tulang, riwayat gout
Bila anamnese sudah lengkap tdk perlu anamnese system  Working Diagnosis (sudah runtut dan baik)

DETEKSI HIPOGLIKEMIA OLEH ANAK-ANAK DENGAN DIABETES TIPE 1 USIA ANTARA 6-11 TAHUN DAN ORANG TUA MEREKA ; SEBUAH PENELITIAN LAPANGAN

DETEKSI HIPOGLIKEMIA OLEH ANAK-ANAK DENGAN DIABETES TIPE 1 USIA ANTARA 6-11 TAHUN DAN ORANG TUA MEREKA ; SEBUAH PENELITIAN LAPANGAN


ABSTRAK
Tujuan : tujuan dari penelitian ini adalah (1) menilai akurasi deteksi hipoglikemia oleh anak dengan diabetes tipe 1 dan orang tua mereka dengan menggunakan tekhnologi personal data assistant untuk mengumpulkan perkiraan glukosa dan pengukuran glukosa (2) meneliti prediktor demografis, klinis, dan dan psikologis pada individu dengan perbedaan pada akurasi deteksi hipoglikemia (3) uji apakah buruknya deteksi hipoglikemia merupakan faktor resiko untuk hipoglikemia berat pada anak-anak.

Metode : 61 anak-anak dengan umur 6 sampai 11 tahun dan orang tua mereka menyelesaikan 70 percobaan, selama 1 bulan, pengawasan terprogram dengan PDA (personal data assistant) yang akan meminta mereka untuk menilai adanya gejala, memperkirakan kadar glukosa darah saat itu, dan kemudian mengukur kadar glukosa darah saat itu. Dalam 6 bulan berikutnya, orang tua melaporkan episode hipoglikemia berat tiap 2 bulan.

Hasil : baik orang tua dan anak-anak menunjukkan kemampuan yang rendah dalam mengenali kadar glukosa darah yang tinggi atau rendah, sehingga terjadi kesalahan bermakna dari perkiraan klinis sama banyak dengan perkiraan klinis secara tepat. Orang tua gagal mengenali >50% pembacaan kadar glukosa < 3 mmol/L (<55 mg/dL) dan membuat kesalahan berbahaya seperti percaya bahwa kadar glukosa darah tinggi walaupun ternyata rendah yang terjadi sebanyak 17%. Anak-anak secara bermakna lebih tepat dalam mengenali hipoglikemia mereka, tapi masih gagal mendeteksi >40% kejadian. Nilai depresi yang tinggi pada anak-anak berhubungan dengan rendahnya akurasi perkiraan hipoglikemia. Anak-anak yang kurang tepat dalam menilai hipoglikemia selanjutnya mengalami hipoglikemia yang lebih berat.

Kesimpulan : kemampuan dalam mengenali hipoglikemia merupakan masalah yang bermakna pada anak-anak dengan diabetes tipe 1 dan orang tua mereka. Untuk anak, buruknya kemampuan untuk mendeteksi kadar glukosa darah yang rendah mungkin merupakan faktor resiko yang bermakna dan kurang diperhatikan untuk terjadinya hipoglikemia yang berat. Beberapa usaha diperlukan untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan deteksi hipoglikemia pada populasi ini.
kata kunci : diabetes tipe 1 anak-anak, deteksi hipoglikemia




















DETEKSI HIPOGLIKEMIA OLEH ANAK-ANAK DENGAN DIABETES TIPE 1 USIA ANTARA 6-11 TAHUN DAN ORANG TUA MEREKA ; SEBUAH PENELITIAN LAPANGAN



Walaupun kemajuan teknologi dalam memantau kadar glukosa, pasien dengan diabetes tipe 1 kadang-kadang masih bergantung pada kemampuan untuk menilai dan mengenali gejala subyektif dan tanda lain hipoglikemia untuk penatalaksaan pada waktu itu. Kegagalan mengenali tanda peringatan awal dari kadar glukosa darah yang rendah dan dengan segera melakukan koreksi adalah faktor utama timbulnya hipoglikemia berat dan berbagai macam akibat negatifnya, termasuk disorientasi mental, tidak sadar, kejang, kecelakaan, dan cedera fisik. Sebagian besar penelitian telah meneliti deteksi kadar glukosa darah, yaitu akurasi nilai kadar glukosa.1-10 Misalnya penelitian pada orang dewasa dengan diabetes tipe 1 ditemukan bahwa perkiraan kadar glukosa darah secara klinis adalah tepat, dengan rata-rata 40%-50%1-3, walaupun demikian, ketika pengenalan hipoglikemia diteliti secara lebih spesifik, orang dewasa biasanya gagal untuk mengenali sampai 50% dari kejadian hipoglikemia mereka1,3-5. Remaja dengan diabetes tipe 1 menunjukkan kemampuan yang buruk daripada orang dewasa dalam ketepatan secara keseluruhan, dengan ketepatan klinis berkisar antara 33% sampai 37%(6-10. Sedikit penelitian pada populasi anak-anak dengan fokus pada deteksi hipoglikemia, tapi satu penelitian dengan pasien di rumah sakit menemukan bahwa 28% dari remaja dan dewasa muda dengan tepat mengenali keadaan hipoglikemia ringan, setelah diberitahu bahwa kadar glukosa darah mereka mungkin direndahkan dengan eksperimental.11
Walaupun menjadi masalah pada orang dewasa dan remaja, deteksi hipoglikemia mungkin menawarkan tantangan lebih besar dalam terapi dari anak dengan diabetes tipe 1. Terapi dan pencegahan hipoglikemia berat di sini tidak hanya bergantung pada kemampuan anak untuk mengenali gejala awal, tapi juga tergantung kepada kemampuan orang tua untuk mengenali tanda peringatan. Walaupun secara klinis penting, deteksi hipoglikemia pada anak dengan diabetes dan orang tua mereka hanya mendapat sedikit perhatian keilmuan. Satu penghalang besar adalah ketidakmauan untuk menginduksi hipoglikemia secara eksperimental pada anak. Pendekatan lain dilakukan dengan menggunakan pasien di luar rumah sakit atau metode lapangan dengan keuntungan terjadinya hipoglikemia adalah alami. Dengan menggunakan metode ini, penelitian sebelumnya meneliti keseluruhan ketepatan dari deteksi glukosa darah oleh anak dengan dibetes tipe 1 (usia kurang dari 12 tahun) dan orang tua mereka.12 Orang tua membuat perkiraan klinis secara tepat sebanyak 36% kali, sedangkan anak secara tepat memperkirakan kadar glukosa darahnya sebanyak 28,5% kali. Baik orang tua dan anak membuat kesalahan klinis secara bermakna sama banyak dengan perkiraan klinis yang tepat. Seperti remaja dan orang dewasa, kesalahan terbanyak yang dibuat oleh orang tua dan anak adalah gagal untuk mendeteksi kadar glukosa darah dengan ekstrim (misalnya percaya bahwa kadar glukosa dalam target ketika itu tidak). Walaupun demikian, perkiraan dari anak dan orang tua juga termasuk kesalahan klinis yang serius, di mana jarang terjadi pada pasien yang lebih tua. Perkiraan dari kadar glukosa darah adalah tinggi ketika kenyataannya rendah.
Walaupun penelitian tersebut menyarankan bahwa mengenali hipoglikemia mungkin merupakan masalah utama untuk anak dengan diabetes tipe 1 dan kedua orang tuanya, terdapat juga beberapa keterbatasan metodologi. Hanya dalam jumlah sedikit keluarga yang ikut dalam penelitian ini (19 orang tua dan 12 anak-anak), masing-masing menyelesaikan hanya 50 kali perkiraan dan pemeriksaan glukosa darah secara bersama-sama. Hanya 10% dari pemeriksaan glukosa darah <3,9 mmol/L, sehingga terjadi kesukaran dalam mengetahui deteksi hipoglikemia secara dalam. Dan juga keluarga menggunakan kertas untuk menyimpan data, yang tidak menyediakan adanya validitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan deteksi hipoglikemia pada anak usia sekolah dan orang tua mereka, dengan menggunakan prosedur pengumpulan data yang lebih reliable di mana perkiraan glukosa dimasukkan ke dalam PDA yang terhubung dengan alat pengukur glukosa darah yang mengukur dan menyimpan pada waktu yang bersamaan. Dan juga, sejumlah besar keluarga dilibatkan dengan waktu yang lebih panjang untuk lebih banyak mendapatkan keadaan hipoglikemia. Data besar ini juga digunakan menyelidiki keadaan demografi, klinis, dan faktor psikologis yang berhubungan dengan perbedaan individu dalam ketepatan perkiraan glukosa darah untuk anak dan orang tua. penelitian sebelumnya meliputi semua kelompok umur telah menemukan adanya perbedaan yang besar dalam individu dalam kemampuan untuk memperkirakan kadar glukosa darah11-12. Dan berusaha mengenali prediktor dalam ketepatan perkiraan kadar glukosa darah pada individu. Variabel seperti jenis kelamin, umur, jangka waktu menderita diabetes, kontrol metabolis, dan kecemasan telah di periksa tapi dengan hasil yang beragam6-13. Akhirnya penelitian ini juga meneliti kesimpulan klinis deteksi hipoglikemia pada populasi ini, dengan menguji apakah risiko menjadi hipoglikemia berat lebih tinggi ketika anak dengan diabetes tipe 1 dan orang tua mereka mempunyai kemampuan yang buruk dalam mengenali keadaan hipoglikemia.


METODE
Peserta

Keluarga diperoleh melalui klinik endokrin anak di the University of Virginia dan di the Joslin Diabetes Center, iklan, dan parent support groups. Kriteria inklusi pada anak meliputi umur 6-11 tahun, setidaknya 1 tahun setelah diagnosis, kemampuan untuk membaca dan melengkapi kuesioner, dan kemampuan untuk menggunakan PDA. Kriteria eksklusinya adalah gangguan perkembangan dan penyakit komorbid yang akan mempengaruhi penyelesaian penelitian atau persepsi gejala (misalnya retardasi mental, asma yang tidak terkontrol). Ketika 2 orang tua tinggal di rumah, salah satu yang bertanggung jawab pada manajemen penyakit diabetes anaknya yang diminta berpatisipasi.
Keluarga yang terpilih menghadiri rapat orientasi oleh dewan peninjau, menerima pemberitahuan informed consent. Jumlah seluruhnya ada 77 keluarga yang terlibat dalam penelitian, dan 66 menyelesaikan penelitian, dengan 11 keluarga mundur karena relokasi, tekanan keluarga, dan ketidakinginan untuk melanjutkan penelitian. Untuk 2 keluarga, data PDA hilang karena kerusakan komputer, dan 3 keluarga kehilangan data sehingga dikeluarkan dari analisis data. Sampel akhir adalah 61 keluarga (University of Virginia: n = 31; Joslin: n = 30). Oang tua dibayar $70 dan anak $35 untuk boneka atas partisipasi mereka.
Ada 31 anak perempuan dan 30 anak laki-laki, 25 anak berusia antara 6 sampai 8 tahun, dan 36 usia antara 9 sampai 11, dengan rata-rata usia 8,83 (SD : 1,6). Rata-rata waktu menderita diabetes adalah 4,7 tahun (SD:2,6), dan 18 anak menggunakan insulin pump. Nilai Hemoglobin A1c (HbA1c) antara 6,7% sampai dengan 10,4% (mean: 7.9%; SD: 0.68%). Total ada 48 ibu dan 13 ayah ikut dalam penelitian. Hampir semua keluarga adalah kulit putih (95%) dan sebagian besar orang tua mempunyai pendidikan universitas (mean tahun sekolah 15,8; SD:2,6). Walaupun bukan kriteria inklusi, semua keluarga mempunyai akses email, yang digunakan untuk pengumpulan data. Orang tua mempunyai pilihan lain untuk menerima panggilan telepon terkomputerisasi untuk pengumpulan data, tapi tidak ada yang memilih hal tersebut.

Alat ukur
Kuesioner

Anak melengkapi Diabetes Knowledge Scale (DKS), the State-Trait Anxiety Scale,14 dan the Children's Depression Inventory15. Orang tua melengkapi DKS, the Beck Depression Inventory,16 dan the State-Trait Personality Inventory17. 40 lembar DKS orang tua telah dikembangakan di universitas Virgiana untuk digunakan pada penelitian sebelumnya tentang orang dewasa dengan diabetes tipe 1 dan menunjukkan sensitifitas untuk perubahan pengetahuan akibat intervensi tingkah laku seperti blood glucose awareness training (BGAT).4,5
PDA survey.
Untuk tiap keluarga disediakan visor PDA, yang dihubungkan dengan Freestyle Tracker BG monitoring system untuk mengumpulkan, menandai waktu, dan menyimpan hasil pemeriksaan glukosa (Abbot Diabetes Care, Abbott Labs, Alameda, CA) dan diprogram dengan penjelasan singkat tentang survey. Para keluarga diminta melengkapi 3-5 percobaan dengan PDA setiap harinya sampai dengan menyelesaikan 70 percobaan selama 1 bulan. Pada awal tiap-tiap percobaan, orang tua mengukur derajat ketika anak mereka mengalami 14 gejala dengan skala dari 0 sampai 6 (0=tidak ada semua, 6=sangat). Hanya gejala yang dapat dilihat oleh orang tua termasuk perubahan pada tingkah laku dan perasaan/mood. Orang tua kemudian memperkirakan kadar glukosa pada anak mereka saat itu dan mengukur derajat kepercayaan mereka tentang perkiraan skala dari 0 sampai 6. Orang tua diminta untuk tidak memberitahukan perkiraan mereka kepada anak mereka, atau bertanya pada anak mereka tentang gejala yang dialaminya. Kemudian anak mengukur apa yang mereka alami dari 14 gejala pada skala visual analog dari 0 sampai 6, memperkirakan kadar glukosa darah mereka sekarang, dan mengukur kepercayaan diri mereka pada perkiraan ini (misalnya yakinkah kamu?). Setelah anak dan orang tua menyelesaikan tiap survey, kadar glukosa darah diukur. DKS anak dikembangkan untuk kepentingan klinik di the Center for Diabetes, Endocrinology and Metabolism at the Childrens Hospital Los Angeles.

Prosedur
Setelah orientasi dan pemberian informasi, orang tua dan anak diberi Visor computers dan the Freestyle BG meters yang dilengkapi instruksi penggunaannya. Keluarga juga diberi kuesioner, yang akan dilengkapi di rumah, dan amplop berstempel untuk surat menyurat. Orang tua diminta untuk tidak membantu anak mereka melengkapi kuesioner, akan tetapi membantu ketika anak tidak bisa membaca atau memahami pertanyaan. Setelah menjalani 70 percobaan dengan PDA, peralatan tempat sampel darah dikirimkan kepada orang tua, yang memperoleh darah dari anak mereka, dan mengirimkannya ke University of Virginia Clinical Laboratories untuk analisis HbA1c. orang tua tersebut kemudian masuk fase follow up hipoglikemia berat dari penelitian prospektif ini. Setiap 2 minggu dari 6 bulan ke depan, orang tua meneima kuesioner berupa email, di dalamnya terdapat pertanyaan, “selama 2 minggu terakhir, berapa kali anak kadar glukosa darah anak anda terlalu rendah sehingga dia tidak bisa merawat diri sendiri karena stupor atau tidak sadar atau terjadi kejang?” ketika orang tua menjawab ya untuk pertanyaan ini, pertanyaan lain mengenai waktu dari keadaan hipoglikemia berat. Dari 61 orang tua, 53 mampu menyelesaikan penelitian 6 bulan ini.












Analisis data
Error-grid analysis (EGA) digunakan untuk mengukur ketepatan dari perkiraan kadar glukosa darah. Error grid seperti pada gambar di atas didesain untuk mengukur ketepatan perkiraan kadar glukosa darah yang dibuat oleh orang tua, juga digunakan secara luas dan sebagai tekhnik standar dalam menilai ketepatan perkiraan kadar glukosa darah, seperti glucose meters dan alat pengukuran glukosa lainnya, termasuk continuous glucose sensors. Pada penelitian ini, pembagian EGA dilakukan (1) meliputi semua rentang glukosa dan (2) untuk keadaan hipoglikemia1,2. untuk masimg-masing orang tua dan anaknya, persentase dari perkiraan terdapat pada zona A pada error grid, atau secara klinis perkiraan tepat, dimasukkan ke dalam komputer. Secara klinis, perkiraan tepat adalah 20% dari pembacaan glukosa darah saat itu, atau terjadi ketika perkiraan dan nilai sebenarnya dari kadar glukosa darah < 3,9 mmol/L. Persentase dari perkiraan yang jatuh pada zona error grid C, D, dan E menunjukkan terjadi kesalahan klinis yang signifikan, juga dimasukkan dalam computer. Zona C terjadi ketika mengira kadar glukosa darah perlu dilakukan koreksi (misalnya terlalu rendah, atau terlalu tinggi) ketika seharusnya tidak. Zona D ketika gagal memperkirakan untuk mengenali keadaan hipo atau hiperglikemia. Zona E terjadi ketika kadar glukosa darah saat itu rendah, tapi perkiraan kadar glukosa darah adalah tinggi.
Sebagai tambahan, persentase perkiraan yang jatuh pada masing-masing zona EGA, dirangkum sebagai indeks akurasi (AI) dihitung dengan mengurangi persentase perkiraan yang tepat secara klinis, dengan persentase yang salah secara klinis1. Dengan demikinan, nilai positif yang lebih tinggi secara relatif menunjukkan perkiraan klinis yang lebih akurat, dimana nilai negatif yang lebih tinggi secara relatif menunjukkan lebih banyak terjadi kesalahan klinis yang bermakna. Untuk masing-masing anak dan orang tua, pembagian nilai AI dihitung meliputi semua pembacaan kadar glukosa darah (overall AI) dan untuk pembacaan kadar glukosa darah < 3 mmol/L (<55 mg/dL) untuk meyakinkan bahwa pengukuran ini mencerminkan deteksi hipoglikemia sedang, yang harusnya lebih nampak gejalanya secara klinis. Dengan demikian, nilai AI hipoglikemia dihitung hanya untuk anak dengan pembacaan kadar glukosa darah < 3 mmol/L selama 70 percobaan (n=35). Sebagai catatan, tingkatan gejala dianalisis untuk menghitung jumlah dari gejala yang berhubungan secara bermakna dengan kadar glukosa darah yang rendah. Untuk masing-masing orang tua dan anaknya, sebuah variabel yang akan digunakan untuk regresi selanjutnya. Tekhnik statistik untuk mengenali gejala yang bermakna dari data PDA dijelaskan secara lengkap pada penelitian sebelumnya. 18
HASIL
Hasil EGA

Pada table 1 menunjukkan hasil EGA untuk seluruh perkiraan pada semua kadar glukosa darah, perkiraan hipoglikemia ketika kadar glukosa darah < 3 mmol/L. Baik orang tua dan anak membuat perkiraan klinis yang tepat (zona A) kurang dari 1/3, dan membuat kesalahan klinis yang bermakna sebanyak 23% dan 27%. Nilai AI dihitung untuk keseluruhan dan akurasi hipoglikemia pada anak orang tua dan anaknya. Rata-rata nilai AI keseluruhan adalah 0,7 (SD : 1,6) untuk orang tua dan 0,1 (SD : 1,7) untuk anak, menunjukkan bahwa orang tua membuat kesalahan klinis yang bermakna sebanyak perkiraan klinis yang tepat. Sebanyak 35 anak mengalami pengukuran kadar glukosa darah < 3 mmol/L (55 mg/dL) selama penelitian, dengan rata-rata 2,8 pengukuran (SD : 2,2). Rata-rata nilai AI hipoglikemia adalah -3,9 (SD : 7,9) untuk orang tua dan -0,6 (SD : 8,5) untuk anak. Baik secara keseluruhan mapun nilai AI hipoglikemia antara orang tua dan anak terdapat hubungan (r = 0.41, P = .001; r = 0.59, P = .0001, secara berturut-turut). Walaupun demikian, nilai AI total untuk orang tua secara bermakna lebih tinggi (t = 3.79, P = .0004) daripada anak, di mana nilai AI hipoglikemia lebih tinggi pada anak (t = 3.0, P = .007). orang tua gagal mendeteksi 54% dari kadar glukosa darah < 3 mmol/L, sedangkan pada anak gagal mendeteksi sebanyak 41% (zona D). Orang tua dan anak juga membuat kesalahan pada zona E, yaitu mempercayai bahwa kadar glukosa darah adalah tinggi ketika sebenarnya rendah sebanyak 17% dan 11%. Nilai AI total secara bermakna lebih tinggi untuk orang yang lebih tua daripada anak-anak, tapi baik keduanya menunjukkan akurasi yang jelek secara keseluruhan, dengan mean 0,4 dan –0,5 (t = 2.14, P = .04). tidak ada perbedaan pada jumlah kesalahan klinis oleh orang lebih tua (25%) dan anak-anak (25%). Tidak ada perbedaan jenis kelamin pada AI total (0 untuk anak perempuan, dan 0,1 untuk anak laki-laki) atau pada AI hipoglikemia. Kecemasan orang tua tidak berhubungan dengan nilai AI, akan tetapi kecemasan anak menunjukkan hubungan positif dengan AI total (r = 0.31, P < .06). kepercayaan orang tua ataupun anak tidak berhubungan dengan nilai AI. Untuk menentukan apakah akurasi ditingkatkan dengan efek belajar, AI total pada 35 percobaan pertama dibandingkan dengan 35 percobaan terakhir. Untuk orang tua, tidak ada perbedaan pada sepanjang waktu, sedangkan pada anak menunjukkan AI yang lebih rendah selama percobaan terakhir (t = 2.1, P = .044).

Prediksi akurasi
Tabel 2 menunjukkan hasil dari penelitian untuk mengenali prediktor akurasi yang bermakna untuk nilai AI total (n = 61) dan nilai AI hipoglikemia (n = 35). Untuk orang tua, hanya 1 variabel kadar glukosa darah yang lebih tinggi secara negatif berhubungan kepada nilai AI total (P < .01), menghitung 19% varian. Untuk anak, variabilitas kadar glukosa darah yang lebih tinggi berhubungan secara negative dengan nilai AI total (P < .01), di mana umur berhubungan secara positif dengan akurasi (P < .01). bersama-sama, variable-variabel ini terhitung 46% dari varian pada nilai AI total anak. Untuk orang tua, nilai AI hipoglikemia, lama waktu diabetes, jumlah gejala yang rendah (P < .05) berhubungan secara positif dengan akurasi, bersama-sama terhitung 30% varian. Untuk anak, tidak ada satupun variable yang diujikan memprediksi AI hipoglikemia.
Deteksi hipoglikemia dan hipoglikemia berat pada masa datang
Setidaknya 1 episode hipoglekemia berat dilaporkan pada 13 dari 53 anak dengan orang tua yang menyelesaikan penelitian prospektif 6 bulan. Uji A t menunjukkan bahwa nilai AI hipoglikemia untuk anak yang mengalami hipoglikemia berat (mean: –0.79; SD: –0.39) secara bermakna lebih rendah daripada anak yang tidak mengalami hipoglikemia berat (mean: 0.20; SD: 0.81), menunjukkan akurasi yang lebih rendah (t = 4.4, P < .0001). nilai AI hipoglikemia tidak berbeda antara orang tua dengan anak yang mengalami atau tidak mengalami hipoglikemia berat.
Regresi bertingkat dilakukan untuk menguji beberapa prediktor yang mungkin dalam perbedaan akurasi masing-masing individu. Variabel prediktor dipilih berdasarkan penemuan penelitian sebelumnya (misalnya umur, variabilitas kadar glukosa darah, kepribadian cemas) dan berdasarkan teori (misalnya jumlah gejala hipoglikemia, pengetahuan diabetes, depresi). Variabel-variabel tersebut dikelompokkan dalam 3 tahap : variabel klinis dan demografi dikelompokkan dalam tahap pertama (umur, lama diabetes, variabilitas glukosa darah, dan HbA1c), variabel kognitif spesifik diabetes dalam tahap kedua (pengetahuan tentang diabetes dan jumlah gejala yang bermakna), dan variabel status psikologis dalam tahap ketiga (kepribadian cemas dan nilai depresi). Regresi terpisah dilakukan pada orang tua dan anak untuk memperkirakan nilai AI total dan AI hipoglikemia. Untuk menguji hipotesis bahwa orang tua dan anak dengan akurasi yang lebih rendah akan mengalami lebih banyak episode hipoglikemia berat selama foolow up 6 bula, uji T untuk membandingkan nilai AI hipoglikemia pada keluarga yang mengalami dan yang tidak mengalami hipoglikemia berat selama periode tersebut.

DISKUSI
Penelitian ini menemukan bahwa anak dengan diabetes tipe 1 dan orang tua mereka kurang akurat dalam deteksi kadar glukosa darah secara keseluruhan daripada orang dewasa dengan diabetes tipe 1. 12. walaupun orang tua secara statistik lebih akurat dalam deteksi kadar glukosa darah daripada anak, baik keduanya nilai AI rata-rata <1,0, menunjukkan tidak ada arti klinis dalma perbedaan akurasi. Pada keadaan hipoglikemia, orang tua gagal mendeteksi >50% hipoglikemia pada anak mereka. Menunjukkan bahwa kadang mereka melalaikan gejala dan tanda lain dari kadar glukosa yang rendah. Walaupun anak secara bermakna lebih akurat dalam mengenali keadaan hipoglikemia, mereka masih gagal untuk mendeteksi 41% episode. Orang tua dan anak juga membuat zona E errors dalam mengenali hipoglikemia yang jarang terjadi pada orang dewasa dengan diabetes tipe 1 dan hal tersebut bisa mengakibatkan keadaan klinis yang berbahaya. Misalnya jika keadaan yang rendah dari kadar glukosa darah salah dianggap hiperglikemia, kemudian terjadi kesalahan terapi seperti tidak makan ketika kadar glukosa darah perlu dinaikkan. Sebagai catatan, kegagalan mengenali hipoglikemia terjadi di bawah kondisi yang dianggap akan meningkatkan akurasi, oleh karena itu, ketika orang tua akan menilai kadar glukosa darah, perhatikan gejala dan tanda lain dari kadar glukosa ekstrim, dan dan memotivasi agar lebih akurat.
Orang tua kurang akurat dalam menilai hipoglikemia daripada anak mereka. Keadaan ini menunjukkan bahwa orang tua menghadapi tugas berat : mengawasi anak mereka untuk tanda peringatan ketika mereka tidak bisa menilai gejala subyektif dan harus bergantung pada tanda seperti perubahan kulit atau tingkah laku atau laporan dari anaknya. Sebagai tamabahan, kepercayaan dalam memperkirakan tidak berhubungan dengan akurasi baik pada anak ataupun orang tua, menunjukkan bahwa kemampuan untuk mendeteksi hipoglikemia tidak dapat selalu diandalkan. 1,12. juga tidak ada bukti bahwa belajar atau peningkatan dari kemampuan mendeteksi kadar glukosa darah untuk orang tua dan anak.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa akurasi tidak ditingkatkan dengan perkiraan berulang, tapi membutuhkan umpan balik sistematik dan latihan khusus1,19 Bersama-sama, hasil penelitian regresi menunjukkan bahwa kemampuan untuk memperkirakan kadar glukosa darah adalah komplek dan multifaktorial, mungkin dipengaruhi oleh sejumlah variable yang berbeda. Untuk akurasi total, variabilitas kadar glukosa darah merupakan satu-satunya variable yang bisa memperkirakan nilai AI baik untuk orang tua maupun anak. Dari penelitian sebelumnya menemukan bahwa kadar glukosa yang sering berfluktuasi berperan pada deteksi yang buruk7, 12, 13. Untuk anak, pertambahan umur juga berhubungan dengan akurasi total yang lebih tinggi, akan tetapi lama waktu diabetes tidak ada hubungannya, menunjukkan bahwa kemajuan perkembangan kognitif lebih berpengaruh pada deteksi kadar glukosa darah daripada waktu yang lebih lama anak menderita diabetes. Walaupun demikian, rata-rata nilai AI total untuk anak yang lebih muda maupun lebih tua mendekati 0, dan tidak terdapat perbedaan umur pada nilai AI hipoglikemia. Sehingga makna klinis dari umur pada anak remaja mungkin minimal. Yang mengejutkan, depresi diramalkan akan membuat akurasi yang buruk untuk anak, sedangkan kecemasan tidak 10,11. akibat dari depresi pada deteksi kadar glukosa darah belum pernah diteliti pada penelitian sebelumnya. Depresi mungkin akan menyebabkan penurunan dari perhatian terhadap tanda somatic atau menyebabkan gejala fisik lain yang akmempengaruhi kemampuan anak dalam mendeteksi perubahan kadar glukosa darah.atau mempengaruhi proses kognitif yang berperan dalam mengenali dan menginterprestasi gejala.
Untuk orang tua, kemampuan untuk mengenali hipoglikemia diperkirakan dari jumlah gejala kadar glukosa darah yang bermakna yang mereka amati, dan sama juga dengan lama waktu anak mereka menderita diabetes. Oleh karena itu, tidak mengejutkan, bahwa orang tua yang lebih waspada terhadap tanda kadar glukosa darah yang rendah pada anak mereka atau anak yang lebih tampak gejalanya menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam mengenali hipoglikemi, sama dengan anak yang lebih lama menderita diabetes dan mungkin dengan episode hipoglikemia. Untuk anak, tidak ada satu pun variable yang diujikan meramalkan deteksi hipoglikemia., termasuk jumlah gejala bermakna dari kadar glukosa darah yang rendah. Walaupun demikian, hal ini menunjukkan bahwa tidak perlu menyarankan gejala tidak berperan penting pada kesadaran anak yang hipoglikemia. Penelitian ini adalah yang pertama mencoba bahwa kita mengukur gejala glukosa darah yang dirasakan pada anak-anak dengan menggunakan visual analog scale. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui kemampuan anak-anak dalam mengenali gejala kadar glukosa darah rendah yang lebih akurat, sama dengan metode terbaik untuk menilai perepsi gejala pada anak-anak.
Penelitian ini juga menyelidiki pertanyaan apakah kemampuan untuk mengenali hipoglikemia, seperti yang diukur di lapangan, sebagai factor resiko terjadinya hipoglikemia berat pada anak-anak. Orang tua dengan anak mengalami hipoglikemia berta selama 6 bulan masa penelitian tidak berbeda dalam akurasi dengan orang tua dengan anak yang tidak pernah mengalami episode hipoglikemia berat. Walaupun demikian, anak yang mengalami hipoglikemia berat selama 6 bulan selanjutnya secara bermakna mempunyai nilai AI hipoglikemia yang lebih rendah daripada anak yang tidak pernah mengalami episode hipoglikemia berat. Walaupun hal ini menunjukkan bahwa masalah dalam kemampuan untuk mengenali hipoglikemia mempunyaipengertian klinis yang penting bagi anak, penelitian lebih jauh lagi jelas diperlukan.
Berbagai keterbatasan metodelogi pada penelitian ini harus dipertimbangkan ketika menginterprestasikan hasil dari penelitian. Walaupun lebih banyak keluarga dan juga waktu yang lebih lama dalam perkiraan kadar glukosa darah daripada penelitian sebelumnya, 12 jumlah sample untuk peserta dan pengukuran kadar glukosa darah masih menjadi masalah. Hanya 58% dari anak yang mengalami kadar glukosa darah < 3 mmol/L selama penelitian, dan kurang lebihsepertiga dari anak tersebut hanya mengalami 1 episode. Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan pengamatan untuk jangka waktu yang lebih lama untuk lebih banyak mendapat episode dengan kadar glukosa darah yang randah dan mendapatkan penilaian deteksi hipoglikemia yang lebih bisa diandalkan. Dan juga, hanya sejumlah kecil dari anak dalam penelitian ini mengalami hipoglikemia berat selama 6 bulan. Karena jumlah sample, analisis regresi untukmemperkirakan akurai dari deteksi kadar glukosa darah juga kurang kuat. Akhirnya kerugian dari metode lapangan adalah ketidakmampuan untuk mengukur variable biologis kritis, seperti respon efinefrin dalam penurunan kadar glukosa darah, yang tampaknya berperan dalam perbedaan akurasi antar individu. Kerugian lain adalah ketidakmampuan untuk mengontrol apakah orang tua dan anak terpengaruh masing-masing laporan gejala lain dan perkiraan kadar glukosa darah.
Walaupun dengan berbagai keterbatasan ini, penelitian ini memperkuat pendapat banyak klinisi yang percaya bahwa deteksi hipoglikemia perupakan masalah bermakna untuk anak muda dengan diabetes tipe 1 dan orang tua mereka. Penelitian ini juaga menyediakan bukti, untuk anak, deteksi hipoglikemia yang buruk merupakan factor resiko yang kurang dianggap untuk terjadinya hipoglikemia berat. Oleh karena itu perlu lebih banyak usaha yang diperlukan untuk secara langsung melakukan pendidikan dan latihan bagi orang tua dan anak untuk mengenali tanda awal dari hipoglikemia. Pengetahuan tidak memperkirakan akurasi baik pada orang tua maupun anak, menunjukkan bahwa pendidikan diabetes secara umum tidaklah cukup. Melainkan diperlukan intervensi untuk meningkatkan kesadaran dan pengenalan dari gejala, dan tanda lain yang berhubungan dengan hipoglikemia. Untuk orang dewasa dengan target intervensi, BGAT, menunjukkan peningkatak akurasi dari deteksi hipoglikemia, menurunkan fluktuasi ekstrim dari kadar glukosa darah, dan meningkatkan status psikososial1, 3-5. sebuah artikel yang merangkum hasil dari 15 penelitian di Amerika dan Eropa20. Penelitian kami adalah mengubah BGAT menjadi program latihan bagi orang tua dan anak dengan diabetes tipe 1. orang tua berperan penting dalam mengajar anak mereka tentang kemempuan manajemen diabetes, termasuk mengenali hipoglikemia. Menyediakan orang tua dengan lebih banyak latihan dalam mengenali dan memperkirakan hipoglikemia mungkin tidak hanya meningkatkan akurasi mereka, tetapi juga membantu mereka dalam mengajar anak mereka kemampuan penting ini.

ATRALGIA

Artralgia merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, yang sering membawa pasien ke dokter. Banyak penyakit yang menyebabkan keluhan ini, yang paling sering ditemui di klinik adalah osteoartritis, artritis gout dan artritis reumatoid.
OSTEOARTRITIS
Pendahuluan
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar.
Patogenesis
Akibat peningkatan enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen) terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi secara progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi serta tepi sendi (osteofit). Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro, serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder.


Faktor Resiko
Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Faktor resiko untuk timbulnya OA primer adalah seperti di bawah ini.
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun.
2. Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, sedangkan laki-laki lebih sering terkena OA paha, pergelengan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada wanita. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.
3. Suku Bangsa
OA paha lebih jarang pada orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering dijumpai pada orang Amerika asli (Indian) daripada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongental dan pertumbuhan.
4. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA. Misalnya pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak perempuannya mempunyai kecenderungan 3 kali lebih sering daripada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa OA tersebut.
5. Kegemukan dan Penyakit Metabolik
Berat badan berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko timbulnya OA baik pada wanita maupun laki-laki. Kegemukan tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga sendi lain. Oleh karena itu di samping peran faktor mekanis, diduga faktor metabolik juga berperan pada kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi.
6. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga
Pekerjaan berat, pemakaian satu sendi terus-menerus, cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko OA yang lebih tinggi. Beban benturan yang berulang dapat menjadi faktor penentu lokasi pada orang yang mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.
7. Kelainan Pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha berkaitan dengan timbulnya OA pada usia muda.
8. Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang berkaitan dengan meningkatnya resiko OA. Hal ini mungkin karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi sehingga lebih mudah robek.
Sendi-sendi yang Terkena
Predileksi OA pada sendi-sendi tertentu, yaitu carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, apofiseal tulang belakang, lutut dan paha. Sedangkan OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral, atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua.
Riwayat Penyakit
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama, tapi berkembang secara perlahan-lahan.
1. Nyeri Sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang sering membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu mungkin menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain.
2. Hambatan Gerakan Sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
3. Kaku Pagi
Nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti setelah duduk dalam waktu cukup lama atau setelah bangun tidur.
4. Krepitasi
Adanya rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
5. Pembesaran Sendi (deformitas)
Salah satu sendi (seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang.
Pemeriksaan Fisik
1. Hambatan Gerak
Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Biasanya bertambah berat dengan makin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur.
2. Krepitasi
Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.


3. Pembekakan Sendi yang Seringkali Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100 cc) atau karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi.
4. Tanda-tanda Peradangan
Nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tidak meninjol dan timbul belakangan.
5. Deformitas Sendi yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan tulang dan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan tulang belakang dengan stenosis spinal.
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1. Radiografi Sendi yang Terkena
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)
b. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi

2. Pemeriksaan Laboratorium
Darah tepi (hemoglobin, lekosit, LED) dalam batas normal. Pemeriksaan imunologis (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal.
Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologis
a. Edukasi
Betujuan agar pasien mengetahui tentang penyakitnya, bagaimana menjaga agar tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
b. Terapi Fisik dan Rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melindungi sendi yang sakit.
c. Penurunan Berat Badan
Berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan karena berat badan berlebihan merupakan faktor yang memperberat OA.
2. Terapi Farmakologis
a. Analgesik Oral Non Opiat
Analgesik yang dapat dipakai antara lain asetaminofen, propoksifen HCL, atau asam salisilat.
b. Analgesik Topikal
c. Obat Anti Inflamasi Non Steriod (OAINS)
Obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Karena pemakaian biasanya untuk jangka panjang, efek samping utama adalah gangguan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal. Penggunaan jangka panjang dianjurkan dengan tambahan suatu penghambat asam lambung (omeprazol, lansoprazol, pantoprazol) atau zat pelindung mukosa misoprostol untuk mencegah terjadinya tukak lambung. Kini tersedia OAINS selektif, yang terutama menghambat cyclo-oxygenase-2 (COX-2) dan kurang mempengaruhi COX-1, sehingga efek samping lebih kecil, antara lain nabumeton, meloxicam, celecoxib.
d. Chondroprotective Agent
Yang dimaksud Chondroprotective Agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Obat –obatan ini digolongkan dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs)
• Tetrasiklin dan derivatnya, contohnya doxycycline, mampu menghambat kerja enzim MMP. Sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan, belum dipakai pada manusia.
• Asam hialuronat disebut viscosupplement karena dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial. Obat ini diberikan secara intraartikular. Asam hialuronat berperan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Pada binatang percobaan, obat ini dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan kemotaksis sel-sel inflamasi.
• Glikosaminoglikan dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam degradasi tulang rawan dan merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia.
• Kondroitin sulfat, merupakan bagian dari proteoglikan pada tulang rawan sendi. Tulang rawan sendi terdiri atas 2% sel dan 98% matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk struktur yang utuh sehingga mampu menahan beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan. Efektivitas kondroitin sulfat mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu anti inflamasi, efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan serta anti degradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif.
• Vitamin C, dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Dalam penelitian ternyata bermanfaat dalam terapi OA.
• Superoxide dismutase, mampu menghilangkan superoxide dan hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxide dapat merusak kondrosit secara langsung.
• Steroid intra artikuler, pada artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi kadang dijumpai pada pasien OA, karena itu kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya masih kontroversial.
3. Terapi Bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)
Pendahuluan
Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah gagal ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolisme yang mendasari adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 ml/dl.
Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, jarang pada pria sebelum masa remaja sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.


Etiopatogenesis
Gejala artritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya, penyakit ini termasuk kelainan metabolik. Kelainan ini berhubungan dengan kinetik asam urat yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia terjadi karena:
1. Pembentukan asam urat yang berlebihan
a. Gout primer metabolik, disebabkan sintesis yang bertambah
b. Gout sekunder metabolik, disebabkan pembentukan asam urat berlebihan karena penyakit lain seperti leukimia terutama bila diobati dengan sitostatik, psoriasis, polisitemia vera dan mielofibrosis.
2. Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal
a. Gout primer renal, terjadi karena gangguan ekskresi asam urat di tubuli distal ginjal yang sehat. Penyebabnya tidak diketahui.
b. Gout sekunder renal, disebabkan oleh kerusakan ginjal, misalnya pada glomerulonefritis kronik atau gagal ginjal kronik.
3. Perombakan dalam usus yang berkurang, namun secara klinis hal ini tidak penting.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada arthritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab, yaitu kristal monosodium urat. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
• Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
• Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas
Manifestasi Klinik
1. Stadium Artritis Gout Akut
Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa, pada saat bangun pagi terasa sakit hebat dan tidak dapat berjalan. Bersifat monoartikuler dengan keluhan berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi paling sering pada MTP-1. Bila proses berlanjut dapat mengenai sendi lain, yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku. Pada serangan akut yang tidak berat keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian diuretik dan penurunan atau peningkatan asam urat. Penurunan asam urat secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.
2. Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan dari stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda radang akut, pada aspirasi sendi didapatkan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut meskipun tanpa keluhan. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar dapat timbul serangan akut lebih sering, lebih berat dan mengenai beberapa sendi. Maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.
3. Stadium Artritis Gout Menahun
Umumnya terdapat pada pasien yang tidak berobat secara teratur. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh, kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achiles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.
Diagnosis
Diagnosis spesifik adalah dengan menemukan kristal urat dalam tofi. Tetapi tidak semua pasien memilki tofi, sehingga tes ini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuan-penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis:
• Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP-1
• Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom
• Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin
• Hiperurisemia
Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologis
a. Edukasi
b. Pengaturan diet (rendah purin)
c. Istirahat sendi
2. Terapi farmakologis
a. Stadium akut
• Kolkisin
Kolkisin berkhasiat anti radang lemah dengan efek baik pada serangan akut (efektivitas 90%). Tidak menurunkan kadar urat darah dan tidak berdaya analgetis. Mekanisme kerja diduga berdasarkan penghambatan sekresi zat-zat kemotaktis dan/atau glikoprotein dari granulosit yang berperan dalam rangkaian proses peradangan, sehingga prosesnya dihentikan. Pengendapan urat berkurang karena pembentukan laktat dan fagosit dihambat. Dosis pada serangan akut oral 1 mg, lalu 0,5 mg setiap 2 jam sampai maksimum 8 mg atau timbul diare. Juga digunakan pada terapi prevensi bersama alopurinol atau urikosurik guna mencegah provokasi serangan dengan dosis 0,5-1,5 mgmalam hari setiap dua hari.
• Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
• Kortikosteroid atau ACTH
Diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout akut yang mengenai banyak sendi.


b. Stadium interkritik dan menahun
• Alopurinol
Derivat pirimidin ini efektif sekali untuk menormalkan kadar urat dalam darah dan kemih yang meningkat. Berdaya mengurangi sintesa urat atas dasar persaingan substrat dengan purin. Purin seperti hipoxanthin dan xanthin dirombak oleh xanthinoxydase (XO) menjadi asam urat. Tetapi dengan adanya alopurinol, XO melakukan aktivitasnya terhadap obat ini sebagai ganti purin. Akibatnya perombakan hipoxanthin dikurangi dan sintesa urat menurun. Kadar urat berangsur turun, tofi menyusut dan batu urat tidak dibentuk lagi. Setelah 1-3 minggu kadar urat mencapai nilai normal. Dosis 1 x 100 mg p.c.,bila perlu dinaikkan 100 mg setiap minggu sampai maksimum 10 mg/kgBB/hari.
• Obat urikosurik
 Benzbromaron
Derivat benzofuran ini berdaya urikosuris dengan jalan merintangi penyerapan kembali urat di tubuli proksimal. Ekskresinya diperbanyak dan kadar urat darah menurun. Dosis oral permulaan 1 x 50 mg d.c., berangsur dinaikkan sampai maksimum 300 mg, pemeliharaan 50 – 200 mg/hari.
 Probenesid
Derivat asam benzoat ini berdaya urikosuris, mekanisme sama dengan benzbromaron. Dosis oral 2 x 250 mg d.c. selama satu minggu, lalu 2 x 500 mg, bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimum 2 g/hari.

ARTRITIS REUMATOID
Pendahuluan
Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan sendi, seringkali juga mengenai organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menimbulkan kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.
Patogenesis
Penyakit ini terjadi akibat rantai peristiwa imunologi yang menyebabkan proses destruksi sendi. Berhubungan dengan faktor genetik, hormonal, infeksi dan heat shock protein. Penyakit ini lebih banyak mengenai wanita daripada pria, teritama pada usia subur.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan kerusakan rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini umumnya mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris.
Kriteria diagnostik American Rheumatism Association (ARA) untuk AR adalah sebagai berikut:
1. Kaku pagi hari
Kaku pagi hari pada persendian dan sekitarnya sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Artritis pada 3 persendian atau lebih
Pembengkakan atau efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan.
4. Artritis simetris
Keterlibatan sendi yang sama seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi.

5. Nodul reumatoid
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Perubahan gambaran radiologis yang khas bagi AR harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien.
1. Tes faktor reumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasienartritis reumatoid, terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Lekosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.


Penatalaksanaan
1. OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya diberikan sejak masa dini penyakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi. OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasinya masih diperlukan obat lain yang termasuk dalam golongan DMARD (Disease Modifying Rheumatoid Arthritis Drug).
2. DMARD
a. Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Khasiat dan efektivitasnya lebih rendah dibanding DMARD lainnya, meskipun toksisitasnya juga lebih rendah. Dosis klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari.
b. Sulfasalazin
Untuk pengobatan AR sulfasalazin dalam bentuk enteric coated tablet mulai dosis 1 x 500 mg/hari, kemudian ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dosis diturunkan hingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika tidak menunjukkan khasiat dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan diganti DMARD yang lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD yang lain.
c. D-penicillamin
Obat ini kurang disukai lagi karena bekerja sangat lambat, umumnya diperlukan waktu satu tahun untuk mencapai remisi adekuat. Dosis 1 x 250 - 300 mg/hari kemudian ditingkatkan setiap 2 - 4 minggu sebesar 250 – 300 mg/hari hingga mencapai dosis 4 x 250 - 300 mg/hari.
d. Garam Emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai gold standard bagi DMARD. AST diberikan secara IM dimulai dengan dosis percobaan pertama 10 mg, kedua 20 mg 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Jika respon belum memuaskan diberikan dosis tambahan 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Garam emas saat ini mulai banyak ditinggalkan karena sering menimbulkan efek samping yang berat. Efek samping AST antara lain pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Auranofin, preparat garam emas oral, sangat berguna bagi pasien AR yang menunjukkan efek samping terhaap AST, diberikan dalam dosis 2 x 3 mg/hari.
e. Methotrexate
Methotrexate mulai bekerja lebih pendek (3 – 4 bulan) jika dibanding DMARD yang lain.Pemberian dimulai dalam dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua)/minggu. Sebagian besar pasien akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terdapat kemajuan dalam 3 – 4 bulan setelah pengobatandosis harus segera ditingkatkan. Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, tapi seperti penggunaan sitostatik lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada pasien AR yang progresif dan gagal dikontrol dengan DMARD standar lainnya.
f. Cyclosporin – A
Cyclosporin – A (CS-A) memiliki efek sebagai antibiotik dan imunosupresan. CS-A umumnya diberikan dalam dosis awal 2,5 – 3,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat ditingkatkan 0,5 – 1 mg/kgBB/hari setiap 1 – 2 bulan sehingga mencapai 5 mg/kgBB/hari. Jika dosis maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan pasien telah berada dalam keadaan stabil sekurang-kurangnya 3 bulan, dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB/hari setiap 1 atau 2 bulan. Jika tidak dijumpai respon klinis setelah penggunaan CS-Adosis maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus dihentikan.
g. Leflunomide (Lef)
Merupakan DMARD terbaru yang digunakan sejak akhir tahun 1998. Khasiat setara dengan MTX, sehingga baik untuk digunakan pada pasien yang gagal diobati dengan MTX atau yang tidak dapat mentolerir MTX. Mekanisme kerja diduga berhubungan dengan kemampuan menekan aktivitas enzim tirosine kinase dan menghambat biosintesis pirimidin de novo melalui penghambatan enzim dihidroorotat dehidrogenase. Lef juga menghambat proses mitogen dan sel Tyang dirangsang oleh IL-2. Dosis awal 100 mg/hari selama 3 hari berturut turut kemudian dilanjutkan 10 – 20 mg/hari.
h. Modulator inflamasi biologis / Inhibitor TNF α
1) Etanercept (Eta)
Obat ini bekerja dengan mengikat TNF α dalam sirkulasi secara kompetitif sehingga TNF α tidak dapat menempati reseptornya pada permukaan sel, dengan demikian aktivitas biologisnya akan terhambat. Eta sangat baik digunakan sebagai kombinasi dengan MTX karena mempercepat perbaikan radang sendi pada RA. Onset Eta sangat cepat, dimana dapat menimbulkan perbaikan radang sendi dalam waktu 1-2 minggu saja. Dosis 25 mg subkutan dalam interval dua kali seminggu.
2) Infliksimab (IFX)
IFX bekerja dengan mengikat TNF α dalam sirkulasi dan mencegah terjadinya interaksi antara TNF α dengan reseptornya pada sel inflamasi dan akhirnya dapat membersihkan TNF α dari sirkulasi. Seperti Eta, IFX juga menghambat aktivitas TNF α. IFX umumnya digunakan bersama MTX untuk mengtasi gejala AR dan menghambat progresi kerusakan struktural pada pasien AR aktif yang tidak menunjukkan respon adekuat pada pengobatan tunggal denhgan MTX. Dosis pertama IFX 3 mg/kgBB digunakan dalam larutan infus yang diberikan selama 2 jam, kemudian diulangi pada minggu ke 2 dan ke 6 dan selanjutnya setiap 8 minggu.
3. Bridging therapy
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari. Hal ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.





REFERENSI
Daud Rizasyah. Artritis reumatoid Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1174-81.
Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek. Kapita selekta kedokteran Edisi Ketiga Jilid I.Media Aesculapius FKUI. 2001. 535-9; 542-6.
Soeroso Joewono, Isbagio Harry, Kalim Handono, Broto Rawan, Pramudiyo Riardi. Osteoartritis Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1195-291.
Tehupeiory Edward Stefanus. Artritis pirai (gout) Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1208-10.
Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-obat penting Khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingya. Elex Media Komputindo. 2002. 306-23.

Rehabilitasi Jantung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Rehabilitasi jantung adalah suatu program dimana pasien dengan penyakit jantung, kerjasama dengan tim kesehatan professional yang berasal dari multidisiplin ilmu, keluarga, dan masyarakat; guna mendukung dan mensuport pasien untuk mencapai dan mengatur kesehatan fisik dan psikososial yang optimal.
Program ini berisi tentang rekomendasi angka kejadian untuk rehabilitasi jantung yang terutama berhubungan dengan rehabilitasi pada miokard infark (MI), revaskularisasi koroner, serta kebutuhan rehabilitasi pada pasien dengan angina dan gagal jantung. Rehabilitasi jantung bisa dilakukan bersamaan dengan prevensi sekunder. Untuk memahami perbedaannya, harus diingat bahwa rehabilitasi jantung memfasilitasi penyembuhan sedangkan prevensi sekunder mencegah penyakit lebih lanjut.

B. Fase-fase rehabilitasi jantung
Merupakan hal yang penting untuk mengetahui 4 fase rehabilitasi jantung yang masing-masing mempresentasikan komponen perjalanan penyakit yang berbeda. Perawatan pasien, periode awal lepas RS, training exercise, dan follow up. Beberapa negara hanya menggunakan 3 fase, dengan menamakan fase periode awal lepas RS sebagai fase 2A dan training exercise sebagai fase 2B. berdasar pada masing masing fase dan terlepas dari rehabilitasi jantung mana yang dipilih, merupakan hal yang penting akan adanya intervensi pada pasien dan komunikasi yang baik dengan penyedia layanan spesial jantung, pelayanan primer, dan pelayanan komunitas. Fase-fase rehabilitasi jantung adalah sebagai berikut:
1. Fase 1
Fase 1 adalah fase perawatan pasien. Fase ini terutama terjadi selama perawatan dalam rumah sakit atau setelah terdapat “step change” pada kondisi pasien jantung (MI, angina, coronary heart disease (CHD), bedah jantung (angioplasty), gagal jantung). Selama fase eveluasi medis terdapat elemen-elemen kunci yang harus diperhatikan yaitu kepastian dan edukasi, koreksi terhadap kesalahpahaman konsep/gambaran penyakit jantung, assessment, factor resiko, mobilisasi dan rencana pemulangan pasien.
Merupakan hal yang biasa untuk melibatkan keluarga, teman/patner, dan perawat sejak stadium awal. Seorang perawat dapat meningkatkan pengetahuan pasien ataupun patnernya mengenai penyakit jantung, mengurangi kecemasan dan depresi yang digabungkan dengan perawatan rutin yang didapatkan pasien.
2. Fase 2
Fase 2 adalah fase dimana pasien merasa terisolasi dan tidak nyama/gelisah.Dukungan terhadap pasien dapat diberikan dengan “home visite”, kontak telpon,dan memperhatikan manfaat heart manual. Heart manual merupakan self help program bagi pasien untuk penyembuhan dari serangna jantung, mengurangi kecemasan, depresi, dan angka rata-rata kembali ke RS.
3. Fase 3
Fase tiga merupakan fase training exercise, dimana fase ini telah mencakup bentuk-bentuk program latihan terstruktur di RS, dengan mendukung edukasi dan psikologi serta informasi dan saran mengenai fakto resiko yang ada. Fase ini menunjukkan bahwa program antar komponen dapat dijalankan secara amandan lancar pada masyarkat.
4. Fase 4
Fase 4 meliputi pengaturan jangka panjang dari aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup.

C. Perkembangan rehabilitasi medik
Program latihan rehabilitasi kardiak terus berkembang sejak British Cardiac Society Working Party Report menampilkan 99 program dan terus berkembang hingga mencapai 300 pada tahun 1997. Namun, perkembangan jumlah tersebut tidak diikuti oleh perkembangan kualitas. Program-program tersebut cenderung kekurangan sumber daya dan tidak mengikuti petunjuk nasional yang telah menjadi ketetapan. Suatu penelitian di Skotlandia selama tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai median dari durasi dan frekuensi program exercise adalah 11 minggu (2x/minggu), sedangkan program edukasi diselenggarakan pada waktu yang terpisah dari kelas exercise,tergantung pada ketersediaan fasilitas. Program ini memiliki nilai median 6 minggu.

BAB II
INTERVENSI PSIKOLOGI DAN EDUKASI

Rehabilitasi jantung yang terkomprehensi meliputi exercise training dengan dukungan psikologi dan edukasi. Tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk memfasilitasi pengembalian ke kehidupan normal dan mendukung pasien untuk menciptakan perubahan gaya hidup dengan tujuan mencegah kejadian/serangan yang akan datang. Dukungan edukasi dan psikologi juga diperlukan untuk menghadapi stress psikologis yang sering mengikuti kejadian myocard infarct (MI).
1. Prediktor Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa stress psikologis dan dukungan sosial yang rendah sangat mempengaruhi gejala yang timbul pasca MI, sehingga hal tersebut dapat digunakan sebagai prediktor luaran pasca MI. Stress psikologis juga merupakan prediktor penting dari pembiayaan RS pada kejadian penyakit jantung, yaitu pasien yang disertai stres psikologis menghabiskan rata-rata 4 kali biaya pasien nonstres. Depresi dan kecemasan juga memegang peranan penting pada etiologi CHD.
a. Depresi
Rata-rata prevalensi kejadian depresi pada pasien MI adalah 15-45%. Depresi dihubungkan mortalitas kardiak yaitu dengan mningkatkan angka mortalitas 3-4 kali lipat. Depresi biasa terjadi pada pasien dengan CHD dan dihubungkan dengan peningkatan resiko dari kejadian cardiacpada unstable angina.
b. Kecemasan
Tingkat kecemasan yang tinggi akan memberikan hasil perawatan medis yang kurang memuaskan. Pada unit perawatan coroner, tingkat kecemasan dihubungkan dengan peningkatan resiko sindrom coronary akut, dan aritmia setelah 12 bulan. Kecemasan juga akan meningkatkan angka kematian. Berdasarka hal tersebut maka pasien dengan penyakit koroner hendaknya melewati screening kecemasan dan depresi, umtuk perlunya dilakukan terapi psikologis.
c. Personality
Suatu penelitian menyatakan bahwa tipe kelakuan juga mengambil peranan, dimana disebutkan bahwa kelakuan yang agresif kompetitif, dan sikap yang bermusuhan (type A) merupakan faktor resiko independent dari CHD.
d. Cardiac Misconseption
Cardiac Misconseption merupakan kepercayaan yang salah tentang problem mengenai jantung yang sering menyebabkan masyarakat menjadi berlebihan dalam memberikan perhatian dan berespon tidak sebagaimana mestinya. Suatu penelitian menyatakan bahwa kapasitas fungsional pada 12 bulan paska MI sangat berhubungan dengan umur dan penyebab awal yang mempengaruhi. Penelitian lain menyatakan bahwa pasien angina pria lebih sering berhubungan denga angina dengan faktor yang lebih terkontrol daripada pasien wanita, dimana penyebab semakin tidak dapat dikontrol oleh pasien (misalnya merasa bahwa pekerjaan yang penuh stress menyebabkan MI) akan cenderung memiliki masalah untuk kembali bekerja, kembali pada fungsi sosial dan domestik, serta memiliki masalah seksual dan sedikitnya keinginan untuk mengikuti program rehabilitasi jantung. Untuk itu, seharusnya para petugas di bidang rehabilitasi jantung seharusnya mengidentifikasi dan memberi informasi serta meluruskan kepercayaan atau anggapan mengenai kesehatan dan misconception pada pasien dengan PJK.

2. Ukuran kesejahteraan Psikologis
Tidak ada consensus yang telah tercapai yang menyatakan adanya suatu alat sebagai ukuran kesejahteraan psikologis, namun yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah Hospital Anxietas and Depression Scale (HADS) yang meliputi 14 pertanyaan dengan subskala terpisah untuk anxietas dan depresi. Skor 0-7 : pada skala menunjukkan keadaan normal, 8-10 = borderline, >11 adanya indikasi klinis depresi/anxietas.
HADS seharusnya diulangi 6-12 minggu setelah kejadian /serangan karena waktu sangat menentukan kecemasan dan depresi, dimana symptom yang pesisten dari waktu ke waktu berhubungan dengan prognosis yang buruk dan membutuhkan terapi segera.

3. Keefektifan Intervensi Psikologis dan Edukasi
Intervensi Psikologis meliputi konseling individual dan group, managemen stres, relaksasi, psikoterapi grup, pendekatan kelakuan kognitif, seting tujuan, dan hipnoterapi.
Intervensi edukasi meliputi intervensi terhadap edukasi individual dan grup pada aspek dari CHD, diet yang sehat, pengurangan rokok,, hipertensi, olahraga, self monitoring,pemberian buklet tentang MI, saran kesehatan dan konseling vokasional.
a. Hasil di Bidang Kardiovaskuler
Analisis terhadap 8.988 pasien menunjukkan bahwa program rehabilitasi kardiak menghasilkan penurunan 34% mortalitas karena penyakit jantung dan 29% penurunan MI berulang. Study dengan respon terbesar terhadap intervensi menunjukkan penurunan terbesar pada mortalitas dan MI berulang mengimplikasi kesuksesan yang berhubungan dengan factor resiko, termasuk tingkah laku, emosi, distress yang berhubungan dengan penurunan serangan jantung.
b. Hasil di Bidang Psikologis
Kejadian terapi psikologis dan edukasi pada kardiak rehabilitasi akan menurunkan faktor resiko dan stress psikologis merupakan hal yang masih berupa dugaan dan belum dapat disimpulkan. Dua meta analisis mendukung penggunaan terapi tersebut tetapi 3 meta analisis lain tidak. Penjelasan yang mungkin dari hal tersebut adalah karena subjek yang digunakan memiliki gejala psikologis yang relative rendah, tidak adanya alat ukur yang tepat umtuk mengukur perubahan psikologis, dan kurangnya pelatihan terhadap para pelaku intervensi psikologis.
4. Prinsip perubahan tingkah laku
a. Target terapi
Berdasarkan bukti penelitian, didapatkan bahwa metode yang menggunakan target terapi sesuai kebutuhan pasien secara individu akan lebih efektif dalam merubah tingkah laku daripada menerapkan semua aspek dalam suatu program kepada setiap pasien. Hal ini sesuai dengan program yang telah diterapkan oleh British Association for Cardiac Rehabilitation (BACR) dan Scottish Needs assessment Programme (SNAP). Dengan demikian maka terapi psikologi dan intervensi terhadap tingkah laku harus diterapkan sesuai target yang disesuaikan degna kebutuhan pasien secara individu.
b. Prinsip psikologi dan model perubahan tingkah laku
Beberapa model terapi psikologi memberikan keberhasilan dalam perubahan tingkah laku, yaitu :
 Cognitive Behavioural Therapy (CBT) adalah struktur terapi yang bertujuan membengkitkan kepercayaan, asumsi, pola pikir dan kebiasaan. CBT dapat membantu pasien mengidentifikasi pemikiran yang tidak berguna dan mengetahui penyebab yang mendasarinya, dan serta memberi solusi yang dapat diterapkan untuk mengelola perubahan tingkah laku, pola pikir, dan keadaan jiwa/suasana hati. CBT efektif dalam kondisi psikis yang beragam, misalnya kecemasan, depresi, gangguan pasca trauma, dan kondisi medis (misalnya pada pasien angina).
 Health Behavioural and Illness Representation Models, bersama-sama dengan metode enhancing self-effifacy, memberikan kekuatan tambahan dalam proses perubahan tingkah laku. Model ini juga termasuk dalam prinsip cognitive-behavioural.
 Motivational interviewing adalah model yang dapat membantu pasien membangun komitmen dan merealisasikan suatu keputusan untuk berubah. Dengan metode ini, maka motivasi yang timbul berasal dari pasien sendiri (intrinsik), bukan berupa paksaan, sehingga akan memperkuat perubahan tingkah laku. Metode ini dapat digunakan ketika pasien ambivalen atau menentang untuk berubah. Strategi ini berasal dari beberapa model terapi. Motivasi ini dapat diterapkan secara jelas kepada pasien jantung dan digunakan efektif dalam penelitian secara randomize trial mengenai perubahan tingkah laku sebelum revaskularisasi koroner.
Metode sistematik dan pendekatan secara individual di atas berbeda secara kualitatif dibandingkan edukasi, dimana jika diterapkan tanpa metode lain tidak efektif untuk menghasilkan perubahan tingkah laku.
c. Prinsip edukasi
Dari analisis mengenai edukasi kesehatan pada pasien penyakit jantung menyatakan bahwa hal terpenting untuk efektifitas edukasi adalah kualitas dari intervensi, yang tergantung dari hubungan kelima prinsip pembelajaran pada obyek dewasa, yaitu :
 Relevansi (menyesuaikan pengetahuan, kepercayaan, dan kondisi pasien)
 Individualisasi (menyesuaikan kebutuhan personal)
 Feedback (memberikan informasi mengenai kemajuan dengan pembelajaran atau perubahan)
 Reinforcement (memberikan hadiah/penghargaan atas kemajuan)
 Fasilitas (memberikan cara untuk melakukan sesuatu dan mengurangi rintangan)
Behavioural technique seperti self-monitoring dan personal communication, termasuk teknik tertulis atau teknik audiovisual akan meningkatkan hasil yang dicapai. Jenis atau durasi intervensi dinyatakan tidak berhubungan dengan efektivitas intervensi.
Rehabilitasi jantung komprehensif diartikan sebagai prinsip edukasi pada obyek dewasa dan perubahan tingkah laku.

4. Intervensi edukasi dan psikologi
a. Heart manual
Heart Manual adalah rehabilitasi behavioural kognitif selama 6 minggu pada pasien post miokard infark. Dikembangkan dari Health Belief Model, program ini didesain untuk mengoreksi perbedaan persepsi tentang penyebab serangan jantung, dan dalam waktu yang sama membantu pasien membangun strategi untuk mengahadapi stres. Hal tersebut meneankan pada self-management, tetapi harus direkomendasikan oleh seorang dokter dan dilayani oleh perawat professional. Healt manual adalah salah satu jalan memberikan edukasi dan dukungan psikologi untuk pasien post infark miokard, walaupun beberapa pasien tetap membutuhkan bantuan orang lain.
Heart Manual direkomendasikan untuk memfasilitasi rehabilitasi jantung secara komprehensif.
b. Terapi depresi dan kecemasan
Antidepresan dapat menurunkan depresi pada pasien dengan penyakit-penyakit fisik seperti penyakit jantung kongestif. Beberapa randomisasi trial mengindikasikan bahwa intervensi psikologi dini dapat memperbaiki suasana hati pada pasien jantung.
Walaupun derajat ansietas dan depresi berhubungan dengan gejala seperti sulit tidur, sulit konsentrasi, kurang energi, suasana hati kurang baik sering didapatkan pada pasien penyakit jantung. Perasaan tidak senang yang berkepanjangan atau ansietas tidak selalu dan tidak harus diterima sebagai reaksi yang tepat.
Semua pasien jantung yang mengalami kecemasan dan depresi harus mendapatkan terapi yang tepat. Bila diperlukan antidepresan maka harus dipiliha yang tidak menimbulkan efek samping pada jantung.



c. Terapi psikologis
Terapi psikologi merupakan kelanjutan dari konseling secara umum, yang awalnya para praktisi menggunakan metode psikologis namun tidak ada pelatihan secara khusus, sampai dengan sekarang digunakan model teori spesifik dengan praktisi yang di latih secara khusus. Program rehabilitasi jantung mempunyai akses terbatas untuk melatih para terapis, sehingga implikasinya adalah banyak distress psikologis yang dialami pasien dengan penyakit jantung.
Terapi psikologi sederhana, seperti terapi yang memfokuskan terhadap solusi, mungkin lebih tepat untuk pasien dengan stress tingkat ringan, dan akan mendapat hasil efektif bila petugas rehabilitasi mengetahui kebutuhan pasien. Pengalaman terapis sangat mempengaruhi keberhasilan suatu terapi. Pasien dengan problem yang lebih komplek (menengah-berat) membutuhkan terapis yang telah dilatih khusus dan berpengalaman menggunakan teknik khusus misalnya teknik cognitive behavioural therapy.

6. Aspek perubahan tingkah laku
a. Berhenti merokok
Status merokok pasien harus diketahui pada semua pasien serta metode berhenti merokok pada pasien perokok. Nasehat singkat dari praktisi kesehatan, konseling kelompok dan perorangan, dan nicotine replacement teraphi dapat meningkatkan jumlah perokok yang berhenti merokok.
b. Pola makan dan diet yang sehat
British Dietetic Association membuat panduan diet pada prevensi sekunder penyakit jantung, dimana dengan meningkatkan konsumsi asam lemak omega-3 (dari minyak ikan dan minyak lobak) dan meningkatkan konsumsi buah dan sayur minimal 5 porsi tiap hari. Dianjurkan untuk mengurangi konsumsi lemak jenuh dan diganti secara parsial maupun total dengan lemak tidak jenuh. Pedoman ini khususnya ditujukan kepada pasien yang membutuhkan penurunan berat badan atau tidak berhasil dalam program penurunan kadar lipid.
c. Aktivitas seksual
British Heart Foundation telah menerbitkan fakta-fakta tentang aktivitas seksual pada pasien infark miokard.


























BAB III
TERAPI LATIHAN

Komponen latihan pada rehabilitasi jantung terdiri dari pengenalan kondisi fisik pasien dan pengetahuan tentang latihan rutin untuk melindungi serangan penyakit jantung. Fisik yang tidak aktif meningkatkan risiko tinggi terjadinya penyakit jantung koroner dua kali lipat. Latihan terstruktur merupakan terapi intervensi yang merupakan inti dari rehabilitasi jantung.
A. Manfaat terapi latihan kebugaran
1. Mortalitas dan luaran terapi pada penyakit`kardiovaskular
Randomised trial mengemukakan dua tipe exercise-based cardiac rehabilitation, yaitu: exercise dan exercise beserta aspek psikologi dan intervensi pendidikan, biasanya akan menghasilkan rehabilitasi jantung yang komprehensif.
Berdasarkan penelitian mengenai Laki-laki dan perempuan pada semua umur dengan infark miokard, revaskularisasi, atau angina ditemukan bahwa exercise dapat menurunkan penyebab kematian sebesar 27%, cardiac death sebesar 31%, nonfatal infark miokard dan revaskularisasin sebesar 19%. Manfaatnya dapat memperpanjang usia sebanyak 2,4 tahun.
Terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan kegagalan rehabilitasi jantung komprehensif, yaitu tidak terstrukturnya exercise pada rehabilitasi jantung yang melibatkan aspek psikologi dan pendidikan kesehatan. Penyebab lainnya adalah exercise hanya ditujukan pada pre trombolisis. Ini berarti manfaat rehabilitasi komprehensif mencakup trombolisis, terapi profilaksis, dan revaskularisasi.
2. Luaran Psikologis dan luaran program lain
Terdapat banyak pendapat mengenai penurunan jumlah kematian dan reinfark bukan satu-satunya ukuran efektivitas rehabilitasi jantung. Hanya dengan melakukan exercise dapat menerapkan physical performance, strengthening otot, latihan bernapas. Rehabilitasi jantung komprehensif dapat meningkatkan fungsi psikologi, perbaikan social, dapat kembali bekerja, dan factor risiko biologi.
B. Safety issues
Sebagian besar pasien akan memperoleh manfaat terapi apabila melakukan sedikitnya exercise intensitas rendah sampai sedang. Walaupun pasien dengan kondisi klinik tidak stabil tidak dimasukkan dalam program latihan.
Hasil penelitian salah satu pusat rehabilitasi menyatakan terdapat empat komplikasi besar (tiga cardiac arrest dan satu non fatal miokard infark) terjadi dalam periode sembilan tahun. Tiga cardiac arrest dapat terjadi pada pasien yang telah menjalani training exercise lengkap selama 12 minggu kemudian menjalani program pemeliharaan.
C. Penilaian sebelum terapi latihan
Stratifikasi resiko klinik berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan ECG yang dikombinasikandengan uji kapasitas fungsional seperti walking tes atau walking tes selama enam menit.
Yang termasuk pasien dengan resiko tinggi, adalah sebagai berikut:
 Pasien dengan riwayat infark miokard sebagai komplikasi gagal jantung, shock kardiogenik dan atau aritmia ventricular komplek.
 Angina atau dispnoe pada exercise ringan, misalnya tidak dapat menyelesaikan walking test pada empat menit pertama.
 Depresi ST segment > 1 mm pada ECG kondisi istirahat.
 Depresi ST segment > 2 mm atau angina pada level < 5 METS ( 3 menit pad protokol Bruce)
Tes kebugaran dan ekokardiografi direkomendasikan untuk menilai iskemia residual dan fungsi ventrikular tapi bukan suatukeharusan pada rehabilitasi jantung kecuali untuk latihan dengan intensitas tinggi atau pasien-pasien dengan resiko tinggi.
Stratifikasi resiko klinik sudah cukup untuk menilai pasien dengan resiko ringann sampai sedang yang menjalani latihan dengan intensitas rendah sampai sedang.
Tes kebugaran dan ekokardiografi direkomendasikan untuk pasien dengan resiko tinggi dan atau latihan dengan intensitas tinggi ( dan sesuai untuk menilai iskemi residual dan fungsi ventrikular).
Kapasitas fungsional sebaiknya dievaluasi sebelum dan saat menyelesaikan latihan kebugaran dengan menggunakan pengukuran yang valid dan reliabel.
1. Shuttle walking test
Shuttle walking test telah lama dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit pernafasan, tapi baru-baru ini juga digunakan untuk menilai kapasitas fungsional sebelum dan setelah rehabilitasi jantung pada pasien-pasien yang telah menjalani operasi jantung atau penanaman pacemaker dan pasien-pasien gagal jantung kronik.
Shuttle walking test dapat menjadi alternatif untuk untuk tes kebugaran yang dapat memberi informasi pada tim rehabilitasi untuk memilih program exercise yang tepat dan sekaligus dapat menilai kemajuan selama rehabilitasi jantung tanpa membutuhkan teknisi jantung, physicians atau alat yang mahal.
Perbandingan pasien:staf sebaiknya tidak melebihi 10:1 selama sesi latihan. Staf yang telah menjalani training basic life support dan mampu menggunakan defibrilator diperlukan pada kelompok latihan pasien-pasien dengan reiko rendah sampai sedang. Dibutuhkan sekurang-kurangnya satu staf yang telah menjalani training advanced life support untuk pasien-pasien dengan resiko tinggi dan kelas dengan latihan intensitas tinggi.






D. Terapis
Tidak ada kesepakatan pada jumlah terapis untuk program-program latihan pada fase 3. UK guidelines merekomendasikan dua terapis terlatih selama latihan kebugaran dengan perbandingan pasien : terapis tidak lebih dari 5:1. Australian guidelines menganjurkan rasio pasien : terapis tidak melebihi 10 : 1. Terdapat satu kekurangan dari konsensus pada training life suppport, UK guidelines menganjurkan training basic life support untuk semua terapis, dan sekurang-kurangnya terdapat satu terapis pernah menjalani pelatihan advanced life support, sedangkan Australian guidelines tidak mengharuskan persyaratan untuk pasien-pasien yang menjalani latihan kebugaran dengan intensitas ringan sampai sedang.
E. Lokasi
Sejumlah penelitian randomised control trials dan studi observasional luas membuktikan bahwa latihan dengan intensitas ringan samapi sedang pada pasien dengan resiko rendah sampai sedang dapat dilakukan di rumah atau lingkungan tempat tinggal seaman dan seefektif jika dilakukan di rumah sakit. Pasien dengan resiko tinggi dan pasien yang menjalani latihan dengan intensitas tinggi sebaiknya hanya dilakukan di tempat-tempat yang memiliki fasilitas resusitsi lengkap dan staf yang terlatih dengan advanced life support training.
Pasien beresiko rendah sampai sedang dapat menjalani latihan dengan intensitas ringan sampai sedang di rumah atau lingkungan tempat tinggal seaman dan seefektif jika dilakukan di rumah sakit.
Latihan untuk pasien beresiko tinggi dan pasien yang membutuhkan latihan dengan intensitas tinggi sebaiknya melakukan latihan di rumah sakit atau tempat-tempat dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Sebagai catatan, pasien-pasien yang melakukan latihan di rumah sebaiknya mempunyai akses review secara regular dan disupport oleh staf rehabilitasi jantung.

G. Isi latihan
Cardio-respiratory fitness membutukan latihan aerobik dengan intensitas ringan sampai sedang, durasi panjang dan gerakan berulang dan kelompok otot besar. Frekuensi, intensitas dan durasi lathan bisa bervariasi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pilihan terbaik untuk tiap individu menentukan jenis aktifitas yang sesuai. Yang termasuk dalam latihan aerobik adalah bersepeda, berjalan, jogging, rowing, atau calisthenic. Di inggris, sirkuit latihan aerobik tradisional digunakan untuk kelompok-kelompok latihan dan merupakan sebuah metode yang efektif untuk latihan jantung.
Sesi latihan sebaiknya adalah sebagai berikut:
 Pemanasan selama 15 menit
 Latihan aerobik 20-30 menit
 Pendinginan selama 10 menit
 Relaksasi 5-10 menit
1. Intensitas latihan
Terdapat beberapa studi baru tentang rehabilitasi jantung berbasis exercise dengan metode random pada pasien-pasien dengan intensitas latihan tinggi plus usual care atau usual care alone. Empat penelitian membandingkan latihan intensitas tinggi dengan intensitas ringan sampai sedang. Tiga diantaranya tidak menemukan perbadaan yang berarti pada angka kematian, infark ulang, kondisi fisik, psikologis, kapasitas kerja fisik atau kualitas hidup pasien setelah 12 bulan latihan. Pada satu studi, pasien-pasien dlam kelompok latihan intensitas tinggi mengalami peningkatan maximal oxygen uptake yang signifikan.
Latihan dengan intensitas tinggi dapat dipertimbangkan untuk mereka dengan pekerjaan yang membutuhan fisik yang kuat, dan untuk pria atau wanita muda yang ingin berolahraga. Latihan dengan intensitas tinggi pada jantung adalah lebih dari 75 % heart rate maximum selama symptom limited exercise test. Walaupun latihan dengan intensitas tinggi jarang memicu takikardi ventrikular atau miokard infark, dianjurkan pertama tama para pasien menjalani limited symptom exercise test. Pada pasien beresiko tinggi sebaiknya tidak dilakukan atau dimonitor secara intensif selama latihan.
Latihan aerobik, latihan dengan intensitas ringan sampai sedang, yang dirancang sesuai dengan tingkat kebugaran, direkomendasikan untuk sebagian besar pasien yang menjalani latihan kebugaran.
2. Frekuensi dan lama latihan
Sebagian besar program rehabilitasi jantung berbasis exercise terbaru terdiri dari tiga sesi latihan per minggu selama 8 minggu atau lebih. Latihan 2 kali seminggu telah lama dilakukan untuk meningkatkan kapasitas kerja fisik maksimum dengan dengan lam waktu yang asama. Studi lanjut menyebutkan hospital-based exercise ditambah dua home-based exercise sekali seminggu efektif dalam meningkatkan kapasitas kerja fisik seefektif hospital based-exercise saja selama 3 minggu. Ini menunjukkan bahwa gabungan dari latihan yang teratur, sesuai gaya hidup pasien lebih penting daripada latihan yang formal yang lama dengan frekuensi tinggi.
Komponen latihan formal dari rehabilitasi jantung sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya dua kali seminggu selama minimal delapan minggu.
Latihan sekali seminggu dengan ditambah dua sesi latiahan di rumah meningkatkan kapasitas latihan yang sama efektifnya dengan tiga kali seminggu latihan di rumah sakit saja.
H. Monitoring terapi latihan kebugaran
Intensitas latihan dapat dipantau baik dengan perceived exertion menggunakan Brog’s scale maupun dengan monitor denyut jantung. Perceived exertion scale menggambarkan intensitas secara subyektif dari latihan. Nilai Borg’s scale memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran intensitas obyektif lain, syaitu oxygen uptake dan heart rate. Tujuannya agar pasien dapat mencapai suatu level yang ’comfortable breathlessneess’ ketika melakukan exercise dan membedakan antara latihan dengan intensitas tinggi dan intensitas sedang sampai berat. Pasien dapat mengambil beberapa sesi yang sesuai denganya dan mampu menggunakan skala in. Tingkatan perceived exertion sebaiknya hanaya digunakan sebagai panduan dalam intensitas latihan, seperti pada pasien jantung mungkin menunjukkan secara signifikan skor yang lebih rendah dari perceived exertion pada intensitas latihan yang diberikan dibanding kontrol dengan umur yang sesuai.
Monitor denyut jantung paling baik digunakan untuk membantu pasien sampai mereka familiar dan mampu menggunakan Borg’s scale.
Intensitas latihan sbaiknya dimonitor dan diatur dengan perceived exertion menggunakan Borg’s scale atau dengan monitor denyut jantung.
Tabel korelasi anatara level latihan dengan perceived exertion dan heart rate
Exercise training level Perceived exertion rate (Borg) Perceived breathing rate % maximal heart rate frome symptom limited exercise test





LOW

MODERAT

HIGH 6 No exertion et all
7 Very, very light
8
9 Very light
10
11 Fairly light
12
13 Somewhat hard
14
15 Hard (hevy)
16
17 Very hard
18
19 Very, very hard
20 Maximal exertion




SING

TALK

GASP




50-60

60-75

75-85




I. Latihan ketahanan
Kunci keberhasilan rehabilitasi jantung adalah untuk mengembalikan aktifitas hidup sehari-hari secara penuh. Hal ini membutuhkan latihan kekuatan otot sebaik latihan ketahanan aerobik. Ketahanan ( atau kekuatan) latihan mampu meningkatkan kekuatan otot, fungsi kardiovaskuler, resiko penyakit kardiovaskuler, dan psikologis dengan baik. Kebanyakan penelitian, dari latihan ketahanan rendah- sedang, (<70% kontraksi volunter maksimum) akan menyatu dalam badan setelah empat minggu setelah kejadian.
Pelatihan ketahanan secara tunggal atau single set, yakni dua sampai tiga kali perminggu (ketika latihan ditampilkan satu set sebagai pengulangan 10-15 detik), sama efektifnya dan lebih menghemat waktu dengan berlatih sekali tiap minggu dengan program multi set (ketika latihan dilakukan setiap dua atau lebih pada satu sesi).
Resiko sakit jantung ringann sampai sedang dapat ditangani dengan latihan ketahanan.
1. Pasien dapat mengambil keuntungan dari latihan aerobik yang diawasi terlebih dahulu daripada latihan ketahanan untuk memungkinkan mereka menguasai kemampuan memonitor dirinya dan secara teratur dan berlatih dengan giat.
2. Tekanan darah dapat meningkat selama latihan ketahanan lebih tinggi daripada selama latihan aerobik. Pasien hipertensi sebaiknya jangan didaftarkan terlebih dahullu sampai tekanan darah mereka terkontrol dengan baik.
I. Latihan ketahanan jangka panjang
Dibahas pada bab V.





BAB IV
PERLAKUAN-PERLAKUAN PADA BEBERAPA
KELOMPOK KONDISI PASIEN KHUSUS

Meskipun rehabilitasi jantung telah dijelaskan dapat sesuai pada semua pasien dengan penyakit jantung, kebanyakan peneliti peduli pada pria putih usia 50 tahunan dengan recent miokard infark atau operasi arteri koroner. Kelompok lainya yang menarik perhatian pada passien lebih tua, perempuan dan pasien berisiko tinggi dengan gagal jantung atau angina tidak dikelompokkan dalam kebanyakan penelitian, sampai sekarang kelompok ini menambah jumlah besar pasien dengan penyakit jantung koroner. Sejumlah kecil namun meningkat yang dilakukan sejumlah peneliti telah menghubungkan efek rehabilitasi jantung pada sub kelompok ini.
A. Pasca myocardial infarction
Sebagaimana telah didiskusikan pada Bab III, baik hanya latihan dan rehabilitasi jantung komprehensif menurunkan semua penyebab kematian dan kematian karena jantung, infark miokard non fatal dan revaskularisasi. Latihan telah menunjukkan peningkatan kemampuan fisik, kekuatan otot, dan gejala dari sesak nafas dan angina. Rehabilitasi jantung komprehensif menambah fungsi fisiologis, pemulihan sosial, kembali bekerja dan faktor resiko biologi. Program rehabilitasi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing pasien. Rehabilitasi jantung komprehensif direkomendasikan setelah infark miokard
B. Pasca coronary bypass dan angioplasty
Keuntungan dari latihan berdasar rehabiliatsi jantung untuk pasien yang akan menjalani revaskuularisasi tidak dipikirkan secara terpisah pada setiap identifikasi ulang. Tiga percobaan secara random termasuk penelitian Cochrane mengulangi kembali pelaporan efek latihan berdasar rehabilitasi setelah operasi bypass, sedangkan salah satunya terdiri dari hanya pasien yang telah menjalani angioplasty. Tak satu pun dari penelitian ulang ini didesain atau untuk memperkuat efek rehabilitasi jantung pada kejadian timbulnya penyakit atau kematian setelah revaskularisasi. Rehabilitasi jantung komprehensif bisa membuat penurunan serum lipid dan ketertarikan meningkatkan kesehatan setelah ooperasi bypass, padahal latihan rehabilitasi jantung saja hanya dihubungkan dengan peningkatan kemampuan latihan tetapi tidak ada efek pada lemak atau berat badan.
Pada penilitian tentang rehabilitasi jantung setelah angioplasty termasuk dalam penelitian ulang Cochrane, kelompok latihan tampak kecil kemungkinan butuh revaskularisasi selama folow up. Kemungkinan karena mereka tidak menjalani operasi bypass atau MI yang selamat, pasien angioplasty mempunyai sedikit perubahan gaya hidup dibanding pasien jantung lainnya dan kecil kemungkinan untuk menghadiri program rehabiliatsi jantung. Dua penelitian acak tambahan tentang rehabilitasi jantung post angioplasty telah diteliti. Salah satu menemukan bahwa rehabilitasi jantung meningkatkan kapasitas latihan, diet dan merokok tetapi tidak kualitas hidup atau faktor fisiologis, sementara yang lain menyediakan bukti lebih baru bahwa rehabilitasi jantung komprehensif setelah angioplasty menurunkan kebutuhan revaskularisasi yang akan datang.
Rehabilitasi jantung komprehensif direkomendasikan untuk pasien yang akan menjalani revaskularisasi koroner.
C. Stable angina
Pengulangan kembali hanya latihan rehabilitasi jantung pada pasien dengan angina telah menunjukkan mengembangkan kapasitas latihan, gejala dan iskemia. Rehabilitasi jantung komprehensif telah menunjukkan keuntungan sama dan keduanya menurunkan perkembangan atau lebih menurunkan kejadian aterosklerosis pada kelompok yang diteliti. Program yang termasuk ke dalam penelitian ini semua semakin intensive daripada perogram masa kini di Skotlandia.
Tiga penelitian baru-baru ini tentang hanya latihan pada rehabilitasi jantung mempertegas bahwa pelatihan ini meningkatkan kapasitas latihan. Salah satu menemukan pengembangan iskemi miokard pada tes latihan. Salah satu penelitian mengevaluasi efek pada kualitas hidup dan ditemukan perbaikan. Bukti dari dua penelitian menyarankan respon dari dosis yakni lebih menguntungkan dengan intensitas latihan lebih sering.
Dua penelitian acak terkontrol baru-baru ini dari rehabilitasi jantung komprehensif dilaporkan juga memberi manfaat. Pada salah satu percobaan terjadi lebih sedikit kejadian jantung pada kelompok yang diintervensi dan pada pasien yang lain yang menunggu untuk non urgent Coronary Artery Bypass Graft (CABG) telah meningkatkan kualitas hidupnya, meskipun lama inap di rumah sakit telah menurun dengan rata-rata hanya satu hari.
Rehabilitasi jantung komprehensif berdasar pengaruh lebih pada pendekatan perilaku kognitif telah dinilai pada salah satu penelitian acak melibatkan 80 pasien dengan angina. Terdapat perbaikan pada kapasitas latihan, emosi yang sedih, gejala dan ketidakmampuan. Suatu penelitian acak tentang pendidikan kesehatan untuk pasien dengan angina dengan perawatan primer di dapatkan peningkatan latihan, diet dan kualitas hidup tetapi tidak berefek pada kadar merokok, lemak, atau tingkat tekanan darah.
Pasien dengan stable angina sebaiknya dipertimbangkan untuk rehabilitasi jantung komprehensif jika mereka punya gejala yang terbatas.
D. Gagal jantung kronik/chronic hearth failure
Pengulangan kembali secara sistematis latihan berdasar rehabilitasi jantung pada angina stabil, gagal jantung kronis telah memberi keuntungan pada kapasitas latihan dan kemungkinan pada gejala. Keuntunganya kemungkinan berasal dari adaptasi perifer (vasodilatasi dan peningkatan kapasitas oksidasi otot) lebih kepada perbaikan fungsi ventrikel. Suatu RCT pada latihan gagal jantung dilaporkan memperbaiki kapasitas latihan, perfusi otot jantung, kualitas hidup, total kematian dan penerimaan rumah sakit. Suatu tinjauan di Eropa yang melibatkan 134 pasien disimpulkan bahwa latihan memperbaiki kapasitas latihan dan indikasi otomatis ( seperti variasi kecepatan detak jantung) bahwa latihan tersebut dapat dikerjakan baik di rumah sakit atau di rumah, hasil 16 minggu lebih baik daripada 6 minggu dan hal itu merupakan kombinaasi siklus ergonometri dan senam lebih baik daripada siklus ergonometry sendiri. Perempuan juga sama halnya dengan laki-laki, dan pasien yang lebih tua mampu berlatih bebas dari komplikasi dan dengan keuntungan dari gejala meskipun dengan efektifitas kecil pada pasien lebih muda.
Pada pengulangan kembali secara sistematis manajemen penyakit secara komprehensif, mendapatkan lebih sedikit perawatan rumah sakit dan peningkatan kualitas hidup, kapasitas fungsional, kepuasan pasien dan pelaksanaan dengan diet dan medikasi. Penelitian yang diulangi kecil dengan peserta diseleksi (yang cenderung sampai tua) dan intervensi termasuk pendidikan, dukungan sosial, perawat yang menindaklanjuti di rumah, latihan berjenjang, dan kadang-kadang masukan dari psikolog dan ahli obat. Pada penelitian terbaru di Skotlandia, perawat yang khusus merawat pasien dengan gaagl jantung dengan mengunjungi rumah, dan berhubungan lewat telepon. Intervensi dilakukan pada pendidikan, pengawasan penyakit, dukungan psikologis, menurunkan resiko dari pemondokan kembali rumah sakit untuk gagal jantung lebih dari setengahnya.
Terdapat bukti yang sedikit terhadap perlakuan hanya efek psikologis dan edukasi pada gagal jantung. Salah satu penelitian pre-post terhadap 50 pasien dilaporkan menurunkan pemondokan kembali di rumah sakit. Pada penelitian terbaru, pendidikan di rumah sakit dengan sebuah kunjungan rumah, telah ditemukan meningkatkan perawatan diri pasien, tetapi tidak mempunyai dampak terhadap pemondokan di rumah sakit.
Pasien dengan gagal jantung kronis, sebaiknya dipertimbangkan untuk rehabilitasi jantung komprehensif.
E. Pasien Lanjut Usia
Meskipun banyak pasien dengan penyakit koroner lebih tua dari 75 tahun, kelompok ini tidak diikutsertakan pada banyak penelitian rehabilitasi jantung. Mengulang kembali dengan sistematis mengindikasikan bahwa pasien lebih tua mendapat keuntungan serupa dengan pasien muda dari latihan berdasar rehabilitasi jantung. Penelitian acak terbaru tentang hanya latihan rehabilitasi jantung pada 101 pasien lebih tua, dengan penyakit jantung koroner, dilaporkan tidak hanya meningkatkan toleransi latihan namun juga meningkatkan aktivitas fisik, kualitas hidup dan kesehatan.
Salah satu penelitian acak terkontrol membandingkan dengan primer perawatan dasar rehabilitasi jantung komprehensif (konsultasi dan latihan) dengan perawatan biasa. Pengambilan dari komponen latihan adalah rendah (20%). Walaupun seperti ini, terdapat lebih sedikit pemondokkan kembali rumah sakit dan kunjungan ke unit gawat darurat pada kelompok yang di intervensi. Penemuan ini sejalan dengan pengulangan kembali secara sistematis manajemen penyakit pada pasien dengan gagal jantung, kebanyaakan mereka adalah lebih tua.
Orang yang lebih tua sebaiknya ikut serta dalam program rehabilitasi jantung komprehensif.
F. Pasien wanita
Wanita tidak banyak diikutsertakan pada awal penelitian rehabilitasi jantung, terhitung sekitar hanya 4% dan 11% pasien didaftarkan dalam latihan saja dan penelitian rehabilitasi jantung komprehensif.
Pengulangan kembali secara sistematis menunjukkan bahwa wanita mendapat manfaat dari latihan berdasar rehabilitasi jantung dalam hal kapasitas fungsional sedikitnya sebanyak laki-laki. Tinjauan terhadap 134 pasien dengan gagal jantung dalam tahap pelatihan ditemukan bahwa manfaat pada wanita sedikitnya sebanyak laki-laki dalam hal peningkatan kapasitas latihan dan peningkatan autonomic indices.
Kebanyakan perempuan telah masuk kriteria dalam hal penelitian psikologis dan intervensi pendidikan. Pada penelitian terbaru, lebih dari 34% pasien pada beberapa penelitian adalah perempuan, dengan keyakinan bahwa manfaat pada perempuan sama banyaknya dengan pada laki-laki. Pengulangan kembali secara sistematis yang lain dilaporkan pada 12 program komprehensif ditujukan pada perubahan gaya hidup(kebanyakan berdasar pendidikan meskipun beberapa intervensi psikologis dan program latihan) yang termasuk perempuan. Pada kebanyakan penelitian memberi manfaat sama dengan laki-laki.
Wanita sebaiknya diikutsertakan program rehabilitasi jantung komprehensif.
G. Kelompok lain
1. Pasien transplantasi jantung
Beberapa penelitian telah memeriksa efek dari rehabilitasi jantung pada pasien setelah transplantasi jantung. Suatu RCT kecil dibandingkan dengan enam bulan latihan berdasar program rehabilitasi jantung dengan perawatan biasa. Terdapat peningkatan dalam kapasitas latihan dari kelompok yang terlatih. Suatu seri dari penelitian lima observasi kecil juga menyarankan bahwa latihan berdasar rehabilitasi jantung meningkatkan toleransi latihan pasien tersebut.


2. Pasien operasi katup
Terdapat sejumlah kecil bukti manfaat dari rehabilitasi jantung setelah operasi katup. Suatu penelitian kecil non random melaporkan bahwa tidak ada perbedaan pada toleransi latihan diantara kedua kelompok (juga tidak dilaporkan tingkat aktivitas fisik)

3. Pasien dengan penyakit jantung kongenital
Dalam suatu penelitian non random terkontrol di Norwegia, anak-anak dengan penyakit jantung kongenital yang telah diawasi dengan tanggung jawab latihannya tampak mendapat beberapa peningkatan dalam kapasitas latihan dan fungsi psikologis dibanding dengan kelompok kontrol. Penelitian yang melibatkan anak-anak Cina (ditinjau ulang secara abstrak) dengan penyakit jantung kongenital telah menemukan bahwa kebiasaan dan latihan meningkatkan perawatan diri, pelaksanaan dan penurunan lama tinggal di rumah sakit.

4. implantable cardioverter defibrillators
Pasien dengan implantable cardioverter defibrillators (ICDs) mempunyai tingkat distress psikologi yang tinggi dan berlanjut menjadi berisiko mati jantung mendadak. Kemungkinan ada manfaatnya dengan rehabilitasi jantung komprehensif tetapi masih dibutuhkan penelitian dalam hal ini.







BAB V
FOLLOW UP JANGKA PANJANG

Untuk jangka waktu lama, sebagian besar pasien dengan penyakit jantung menerima sebagian besar atau bahkan keseluruhan terapi dari primary care dan masyarakat. Ketika proses penyembuhan selesai, penekanan dari rehabilitasi jantung berubah menjadi tujuan jangka panjang untuk menjaga aktifitas fisik dan perubahan gaya hidup dengan terapi sekunder obat profilaksis yang tepat. Batasan antara rehabilitasi jantung, pencegahan sekunder, dan primary care dengan obat masih belum jelas. Tujuan akhir dari semua itu adalah perawatan jantung yang komprehensif.
Beberapa pasien dapat sembuh, tapi yang lain tetap mempunyai gangguan dalam kesehatannya. Orang dengan penyakit jantung koroner kadang harus mondok di rumah sakit, dan mempunyai resiko tinggi untuk terjadi infark dan reinfark. Gaya hidup sehat dapat mengurangi resiko kejadian koroner, namun hal tersebut sulit untuk dicapai dan dijaga. Terapi obat efektif, tapi uptake dan pemenuhannya biasanya tidak bisa optimal. Disarankan untuk mengubah gaya hidup dan pengobatan sekunder dengan obat yang berdasarkan panduan SIGN. Penelitian terbaru tentang terapi profilaksis jantung memperlihatkan meluasnya penggunaan terapi statin untuk semua pasien dengan penyakit koroner tanpa melihat kadar kolesterol serum pasien.
Tabel Modifikasi gaya hidup dan terapi obat pada prevensi sekunder penyakit jantung koroner
Terapi obat Aspirin (75 mg/hari) atau Klopidogrel (75 mg/hari)
Statin (jika kolesterol total > 5 mmol/L)
Β-Bloker
ACE Inhibitor
Hipertensi Penurunan tekanan darah (jika tekanan darah > 140/90 mmHg
Merokok Beri saran untuk menghilangkan kebiasaan merokok
Terapi penggantian nikotin
Diet Tingkatkan asupan buah dan sayur (5 porsi sehari)
Tingkatkan asupan asam lemak omega 3 (minyak ikan)
Ganti asam lemak jenuh dengan asam lemak tidak jenuh (minyak zaitun)
Penurunan berat badan jika obesitas (BMI > 30 kg/m2
Latihan Secara teratur dengan intensitas ringan sampai sedang (3-5 kali per minggu)
Diabetes Optimalkan gula darah dan tekanan darah

1. Peralihan perawatan ke primary care
Ketika pasien telah dirawat di rumah sakit, perawatan berubah dari secondary care menjadi primary care. Hal itu perlu fleksibel sesuai kebutuhan pasien sebagai individu. Banyak dari aspek perawatan yang hilang selama proses peralihan tersebut, dan banyak bukti yang menunjukkannya. Ada sedikit bukti tentang bagaimana peralihan tersebut menjadi meningkat. Komunikasi yang baik menjadi langkah pertama. Kadang, informasi khusus harus disediakan dengan detail tentang terapi dan rehabilitasi jantung terbaru, saat monitoring, dan rencana terapi masa datang
2. Follow Up pada primary care
Hasil dari 12 prevensi sekunder pada penyakit jantung koroner secara trial random menunjukkan bahwa program terstruktur dari manajemen penyakit meningkatkan factor resiko dan meningkatkan pencegahan sekunder. Terjadi penurunan rawat inap dan meningkatkan kualitas hidup. Program yang termasuk multifaktorial dengan setengahnya adalah terapi medis dan perubahan gaya hidup.
Pada penelitian pertama di Belfast, petugas kesehatan dilatih untuk member pendidikan kesehatan tentang diet, latihan, dan merokok, bagaimana memeriksa tekanan darah. Setelah 2 tahun dilaporkan terjadi perubahan signifikan pada aktifitas fisik dan diet pada kelompok, tapi tidak ada perubahan pada merokok, tekanan darah, dan kadar lipid. Penurunan terjadinya angina dan nilai lebih bagus untuk mobilitas fisik berdasar skor Nottingham. Total mortalitas juga menurun. Akan tetapi setelah 3 tahun penghentian intervensi, semua manfaat yang ada menjadi hilang.
Pada penelitian kedua di Grampian, dengan prevensi sekunder. Pada tahun pertama, pasien yang menggunakan aspirin mempunyai tekanan darah dan kadar lipid yang lebih baik, aktifitas fisik sedang, dan lemak lemak yang rendah, tapi tidak ada perbedaan dalam merokok. Terapi klinis meningkatkan kualitas hidup pasien, terutama aspek fisik dan fungsional, dan lebih sedikit pasien yang perlu perawatan di rumah sakit
Pada penelitian ketiga, tentang perawatan klinik. Pada tiga kelompok, prevensi sekunder yang paling baik ditemukan pada kelompok yang menggunakan aspirin.
3. Pelayanan kesehatan rawat jalan
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pasien dengan komplikasi jantung mendapat manfaat dari rawat jalan. Manajemen klinik secara komprehensif pada pasien gagal jantung telah meningkatkan kualitas hidup, kapasitas fungsional, kenyamanan pasien dan pemenuhan obat, dan mengurangi rawat inap. Pengobatan ini dilakukan oleh ahli yang berpengalaman. Ada bukti yang menunjukkan bahwa tujuan terapi tidak akan tercapai tanpa follow up spesialis pada primary care.
Ada beberapa manfaat dari pasien angina yang dirawat secara intensif dan spesialistik di rumah sakit. Gejala akan berkurang. Program rawat jalan untuk pasien koroner telah mengurangi factor resiko, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi masa inap di rumah sakit.
4. Self Help Groups
Di skotlandia ada 19 Self Help Groups pada tahun 1994, terdapat pada pusat olahraga, sekolah dan universitas, rumah sakit, dan gereja, yang menyediakan perawatan penyakit jantung.
Pada tahun 2001, ada sekitar 30 grup jantung di skotlandia. Program tiap grup bervariasi termasuk latihan, relaksasi, ceramah, dan diskusi. Latihan dilakukan dengan bantuan fisioterapi, perawat, pelatih senam, tapi tidak ada yang dilengkapi dengan defibrillator.
Tidak ada bukti yang menunjukkan keefektifan dari Self Help Groups pada rehabilitasi jantung. Aspek penting dari Self Help Groups adalah interaksi antar orang dan kesempatan untuk bertukar pengalaman. Beberapa pasien menganggap sebagai kesempatan berharga, tapi beberapa yang lain tidak. Bukti tidak langsung dari program ini adalah adanya peningkatan fungsi psikososial yang ditemukan pada beberapa penelitian.
5. Program latihan jangka panjang
Latihan akan berarti bermakana pada rehabilitasi jantung jika dilakukan selama 12 bminggu atau lebih. Jika manfaat suda ada, latihan diteruskan untuk jangka panjang, tapi hal ini akan sulit dilakukan, terutama jika tanpa adanya supervisor. Beberapa orang mungkin memikirkan program latihan mereka, atau kembali ke olahraga mereka, bergabung dengan self help group, atau pusat olahraga, atau dengan home exercise.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pilihan yang satu lebih baik dari yang lain, jadi pilihan tentang program akan ditentukan oleh pasien sendiri. Pasien dengan penyakit koroner yang stabil, akan ditingkatkan dengan latihan aerobic sedang secara regular
Menurut The British Association for Cardiac Rehabilitation pasien yang akan melakukan program latihan jangka panjang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Kondisi kinis stabil
b. Mengerti gejala penyakit mereka (jika mendapat angina, mengerti bagaimana menggunakan sublingual nitrat)
c. Dapat mengatur latihan mereka sendiri
d. Dapat mencapai kapasitas latihan lebih dari 5 METS
Untuk dokter yang merawat, harus dapat memberikan informasi :
a. Tentang serangan jantung dan kondisi medis yang terkait
b. Progresifitas dari penyakit tersebut termasuk komplikasinya
c. latihan fase 3 dan penilaian kapasitas fungsional
d. Hasil tes toleransi jika tersedia
e. Penjelasan tentang pengobatan pada pasien
a. Instruktur kesehatan pada program pemeliharaan harus terdaftar dengan kualifikasi khusus
b. Jika lebih dari 5 tahun setelah penilaian, jika gejala muncul lagi, atau jika pasien memulai program latihan jangka panjang tanpa menyelesaikan latihan fase 3, disarankan penilaian faktor resiko klinis dan tes kapasitas fungsional dengan atau tanpa latihan.



BAB VI
KESIMPULAN

Rehabilitasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Perlu kerjasama dari keluarga dan teman pasien. Beberapa hal yang harus diinformasikan adalah sebagai berikut:
1. Pasien diberikan informasi mengenai kerja dasar dari jantung, angina dan infark jantung, serta faktor resiko gagal jantung.
2. Diskusi untuk modifikasi faktor resiko, misalnya merokok (tidak merokok dapat menurunkan 50% mortalitas karena infark miokard selama 5 tahun ke depan), bersama dengan program edukasi seperti diet, manajemen stress, dan terapi dengan obat.
3. Yakinkan pasien bahwa rehabilitasi jantung akan mempercepat kesembuhan pasien dengan penyakit jantung untuk sembuh dan kembali produktif, juga bahwa rehabilitasi jantung itu aman.
4. Hampir semua pasien dengan penyakit jantung mendapat manfaat dari rehabilitasi jantung. Tidak muda atau tua, wanita atau laki-laki.
5. Keberhasilan program rehabilitasi jangka panjang berhubungan langsung dengan pasien. Pihak yang paling penting dalam program ini adalah pasien.
Aspek psikologis rehabilitasi jantung yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Pasien diingatkan mungkin mereka menjadi depresi atau mengalami gejala kecemasan akut selama beberapa hari atau minggu setelah mengalami infark dan hal tersebut wajar, namun tidak boleh putus semangat dan berlarut-larut.
2. Jika pasien tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan ketika sampai dengan pulang ke rumah, mereka harus berusaha melihat ini bukan sebagai suatu kemunduran, melainkan harus dievaluasi untuk tindak lanjut seterusnya.
3. Jelaskan kepada keluarga pasien bahwa kondisi kejiwaan yang tidak stabil mungkin terjadi setelah pasien pulang ke rumah. Pasien menjadi pemarah dan susah berkomunikasi dengan sekitar.
4. Beberapa minggu dan bulan setelah infark, keluarga dan teman pasien harus terlibat dalam program rehabilitasi jantung dan memberi semangat untuknya
5. Diskusi tentang konsulan perawatan, supervise jantung secara manual, primary care, secondary care, self-help groups.
6. Hubungan dengan petugas kesehatan harus terus berlanjut
Penyusunan program latihan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Diskusi tentang tujuan latihan, resiko, dan manfaatnya. Misalnya latihan tidak harus berat dan lama, langkah ringan 15-20 menit setiap hari atau 5 kali seminggu sudah cukup untuk pasien pasca infark.
2. Pasien harus memilih untuk latihan di rumah atau di rumah sakit atau bahkan keduanya. Perlu diberitahukan jenis latihan dengan intensitas ringan sampai sedang yang aman dan efektif untuk pasien.
3. Jika manfaat telah dicapai, latihan tetap dilanjutkan untuk jangka panjang.