ATRALGIA

Artralgia merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, yang sering membawa pasien ke dokter. Banyak penyakit yang menyebabkan keluhan ini, yang paling sering ditemui di klinik adalah osteoartritis, artritis gout dan artritis reumatoid.
OSTEOARTRITIS
Pendahuluan
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar.
Patogenesis
Akibat peningkatan enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen) terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi secara progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi serta tepi sendi (osteofit). Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro, serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder.


Faktor Resiko
Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Faktor resiko untuk timbulnya OA primer adalah seperti di bawah ini.
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun.
2. Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, sedangkan laki-laki lebih sering terkena OA paha, pergelengan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada wanita. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.
3. Suku Bangsa
OA paha lebih jarang pada orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering dijumpai pada orang Amerika asli (Indian) daripada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongental dan pertumbuhan.
4. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA. Misalnya pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak perempuannya mempunyai kecenderungan 3 kali lebih sering daripada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa OA tersebut.
5. Kegemukan dan Penyakit Metabolik
Berat badan berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko timbulnya OA baik pada wanita maupun laki-laki. Kegemukan tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga sendi lain. Oleh karena itu di samping peran faktor mekanis, diduga faktor metabolik juga berperan pada kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi.
6. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga
Pekerjaan berat, pemakaian satu sendi terus-menerus, cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko OA yang lebih tinggi. Beban benturan yang berulang dapat menjadi faktor penentu lokasi pada orang yang mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.
7. Kelainan Pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha berkaitan dengan timbulnya OA pada usia muda.
8. Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang berkaitan dengan meningkatnya resiko OA. Hal ini mungkin karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi sehingga lebih mudah robek.
Sendi-sendi yang Terkena
Predileksi OA pada sendi-sendi tertentu, yaitu carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, apofiseal tulang belakang, lutut dan paha. Sedangkan OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral, atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua.
Riwayat Penyakit
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama, tapi berkembang secara perlahan-lahan.
1. Nyeri Sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang sering membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu mungkin menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain.
2. Hambatan Gerakan Sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
3. Kaku Pagi
Nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti setelah duduk dalam waktu cukup lama atau setelah bangun tidur.
4. Krepitasi
Adanya rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
5. Pembesaran Sendi (deformitas)
Salah satu sendi (seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang.
Pemeriksaan Fisik
1. Hambatan Gerak
Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Biasanya bertambah berat dengan makin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur.
2. Krepitasi
Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.


3. Pembekakan Sendi yang Seringkali Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100 cc) atau karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi.
4. Tanda-tanda Peradangan
Nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tidak meninjol dan timbul belakangan.
5. Deformitas Sendi yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan tulang dan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan tulang belakang dengan stenosis spinal.
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1. Radiografi Sendi yang Terkena
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)
b. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi

2. Pemeriksaan Laboratorium
Darah tepi (hemoglobin, lekosit, LED) dalam batas normal. Pemeriksaan imunologis (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal.
Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologis
a. Edukasi
Betujuan agar pasien mengetahui tentang penyakitnya, bagaimana menjaga agar tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
b. Terapi Fisik dan Rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melindungi sendi yang sakit.
c. Penurunan Berat Badan
Berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan karena berat badan berlebihan merupakan faktor yang memperberat OA.
2. Terapi Farmakologis
a. Analgesik Oral Non Opiat
Analgesik yang dapat dipakai antara lain asetaminofen, propoksifen HCL, atau asam salisilat.
b. Analgesik Topikal
c. Obat Anti Inflamasi Non Steriod (OAINS)
Obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Karena pemakaian biasanya untuk jangka panjang, efek samping utama adalah gangguan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal. Penggunaan jangka panjang dianjurkan dengan tambahan suatu penghambat asam lambung (omeprazol, lansoprazol, pantoprazol) atau zat pelindung mukosa misoprostol untuk mencegah terjadinya tukak lambung. Kini tersedia OAINS selektif, yang terutama menghambat cyclo-oxygenase-2 (COX-2) dan kurang mempengaruhi COX-1, sehingga efek samping lebih kecil, antara lain nabumeton, meloxicam, celecoxib.
d. Chondroprotective Agent
Yang dimaksud Chondroprotective Agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Obat –obatan ini digolongkan dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs)
• Tetrasiklin dan derivatnya, contohnya doxycycline, mampu menghambat kerja enzim MMP. Sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan, belum dipakai pada manusia.
• Asam hialuronat disebut viscosupplement karena dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial. Obat ini diberikan secara intraartikular. Asam hialuronat berperan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Pada binatang percobaan, obat ini dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan kemotaksis sel-sel inflamasi.
• Glikosaminoglikan dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam degradasi tulang rawan dan merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia.
• Kondroitin sulfat, merupakan bagian dari proteoglikan pada tulang rawan sendi. Tulang rawan sendi terdiri atas 2% sel dan 98% matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk struktur yang utuh sehingga mampu menahan beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan. Efektivitas kondroitin sulfat mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu anti inflamasi, efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan serta anti degradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif.
• Vitamin C, dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Dalam penelitian ternyata bermanfaat dalam terapi OA.
• Superoxide dismutase, mampu menghilangkan superoxide dan hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxide dapat merusak kondrosit secara langsung.
• Steroid intra artikuler, pada artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi kadang dijumpai pada pasien OA, karena itu kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya masih kontroversial.
3. Terapi Bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)
Pendahuluan
Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah gagal ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolisme yang mendasari adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 ml/dl.
Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, jarang pada pria sebelum masa remaja sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.


Etiopatogenesis
Gejala artritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya, penyakit ini termasuk kelainan metabolik. Kelainan ini berhubungan dengan kinetik asam urat yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia terjadi karena:
1. Pembentukan asam urat yang berlebihan
a. Gout primer metabolik, disebabkan sintesis yang bertambah
b. Gout sekunder metabolik, disebabkan pembentukan asam urat berlebihan karena penyakit lain seperti leukimia terutama bila diobati dengan sitostatik, psoriasis, polisitemia vera dan mielofibrosis.
2. Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal
a. Gout primer renal, terjadi karena gangguan ekskresi asam urat di tubuli distal ginjal yang sehat. Penyebabnya tidak diketahui.
b. Gout sekunder renal, disebabkan oleh kerusakan ginjal, misalnya pada glomerulonefritis kronik atau gagal ginjal kronik.
3. Perombakan dalam usus yang berkurang, namun secara klinis hal ini tidak penting.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada arthritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab, yaitu kristal monosodium urat. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
• Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
• Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas
Manifestasi Klinik
1. Stadium Artritis Gout Akut
Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa, pada saat bangun pagi terasa sakit hebat dan tidak dapat berjalan. Bersifat monoartikuler dengan keluhan berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi paling sering pada MTP-1. Bila proses berlanjut dapat mengenai sendi lain, yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku. Pada serangan akut yang tidak berat keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian diuretik dan penurunan atau peningkatan asam urat. Penurunan asam urat secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.
2. Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan dari stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda radang akut, pada aspirasi sendi didapatkan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut meskipun tanpa keluhan. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar dapat timbul serangan akut lebih sering, lebih berat dan mengenai beberapa sendi. Maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.
3. Stadium Artritis Gout Menahun
Umumnya terdapat pada pasien yang tidak berobat secara teratur. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh, kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achiles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.
Diagnosis
Diagnosis spesifik adalah dengan menemukan kristal urat dalam tofi. Tetapi tidak semua pasien memilki tofi, sehingga tes ini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuan-penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis:
• Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP-1
• Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom
• Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin
• Hiperurisemia
Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologis
a. Edukasi
b. Pengaturan diet (rendah purin)
c. Istirahat sendi
2. Terapi farmakologis
a. Stadium akut
• Kolkisin
Kolkisin berkhasiat anti radang lemah dengan efek baik pada serangan akut (efektivitas 90%). Tidak menurunkan kadar urat darah dan tidak berdaya analgetis. Mekanisme kerja diduga berdasarkan penghambatan sekresi zat-zat kemotaktis dan/atau glikoprotein dari granulosit yang berperan dalam rangkaian proses peradangan, sehingga prosesnya dihentikan. Pengendapan urat berkurang karena pembentukan laktat dan fagosit dihambat. Dosis pada serangan akut oral 1 mg, lalu 0,5 mg setiap 2 jam sampai maksimum 8 mg atau timbul diare. Juga digunakan pada terapi prevensi bersama alopurinol atau urikosurik guna mencegah provokasi serangan dengan dosis 0,5-1,5 mgmalam hari setiap dua hari.
• Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
• Kortikosteroid atau ACTH
Diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout akut yang mengenai banyak sendi.


b. Stadium interkritik dan menahun
• Alopurinol
Derivat pirimidin ini efektif sekali untuk menormalkan kadar urat dalam darah dan kemih yang meningkat. Berdaya mengurangi sintesa urat atas dasar persaingan substrat dengan purin. Purin seperti hipoxanthin dan xanthin dirombak oleh xanthinoxydase (XO) menjadi asam urat. Tetapi dengan adanya alopurinol, XO melakukan aktivitasnya terhadap obat ini sebagai ganti purin. Akibatnya perombakan hipoxanthin dikurangi dan sintesa urat menurun. Kadar urat berangsur turun, tofi menyusut dan batu urat tidak dibentuk lagi. Setelah 1-3 minggu kadar urat mencapai nilai normal. Dosis 1 x 100 mg p.c.,bila perlu dinaikkan 100 mg setiap minggu sampai maksimum 10 mg/kgBB/hari.
• Obat urikosurik
 Benzbromaron
Derivat benzofuran ini berdaya urikosuris dengan jalan merintangi penyerapan kembali urat di tubuli proksimal. Ekskresinya diperbanyak dan kadar urat darah menurun. Dosis oral permulaan 1 x 50 mg d.c., berangsur dinaikkan sampai maksimum 300 mg, pemeliharaan 50 – 200 mg/hari.
 Probenesid
Derivat asam benzoat ini berdaya urikosuris, mekanisme sama dengan benzbromaron. Dosis oral 2 x 250 mg d.c. selama satu minggu, lalu 2 x 500 mg, bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimum 2 g/hari.

ARTRITIS REUMATOID
Pendahuluan
Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan sendi, seringkali juga mengenai organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menimbulkan kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.
Patogenesis
Penyakit ini terjadi akibat rantai peristiwa imunologi yang menyebabkan proses destruksi sendi. Berhubungan dengan faktor genetik, hormonal, infeksi dan heat shock protein. Penyakit ini lebih banyak mengenai wanita daripada pria, teritama pada usia subur.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan kerusakan rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini umumnya mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris.
Kriteria diagnostik American Rheumatism Association (ARA) untuk AR adalah sebagai berikut:
1. Kaku pagi hari
Kaku pagi hari pada persendian dan sekitarnya sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Artritis pada 3 persendian atau lebih
Pembengkakan atau efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan.
4. Artritis simetris
Keterlibatan sendi yang sama seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi.

5. Nodul reumatoid
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Perubahan gambaran radiologis yang khas bagi AR harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien.
1. Tes faktor reumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasienartritis reumatoid, terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Lekosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.


Penatalaksanaan
1. OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya diberikan sejak masa dini penyakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi. OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasinya masih diperlukan obat lain yang termasuk dalam golongan DMARD (Disease Modifying Rheumatoid Arthritis Drug).
2. DMARD
a. Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Khasiat dan efektivitasnya lebih rendah dibanding DMARD lainnya, meskipun toksisitasnya juga lebih rendah. Dosis klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari.
b. Sulfasalazin
Untuk pengobatan AR sulfasalazin dalam bentuk enteric coated tablet mulai dosis 1 x 500 mg/hari, kemudian ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dosis diturunkan hingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika tidak menunjukkan khasiat dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan diganti DMARD yang lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD yang lain.
c. D-penicillamin
Obat ini kurang disukai lagi karena bekerja sangat lambat, umumnya diperlukan waktu satu tahun untuk mencapai remisi adekuat. Dosis 1 x 250 - 300 mg/hari kemudian ditingkatkan setiap 2 - 4 minggu sebesar 250 – 300 mg/hari hingga mencapai dosis 4 x 250 - 300 mg/hari.
d. Garam Emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai gold standard bagi DMARD. AST diberikan secara IM dimulai dengan dosis percobaan pertama 10 mg, kedua 20 mg 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Jika respon belum memuaskan diberikan dosis tambahan 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Garam emas saat ini mulai banyak ditinggalkan karena sering menimbulkan efek samping yang berat. Efek samping AST antara lain pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Auranofin, preparat garam emas oral, sangat berguna bagi pasien AR yang menunjukkan efek samping terhaap AST, diberikan dalam dosis 2 x 3 mg/hari.
e. Methotrexate
Methotrexate mulai bekerja lebih pendek (3 – 4 bulan) jika dibanding DMARD yang lain.Pemberian dimulai dalam dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua)/minggu. Sebagian besar pasien akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terdapat kemajuan dalam 3 – 4 bulan setelah pengobatandosis harus segera ditingkatkan. Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, tapi seperti penggunaan sitostatik lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada pasien AR yang progresif dan gagal dikontrol dengan DMARD standar lainnya.
f. Cyclosporin – A
Cyclosporin – A (CS-A) memiliki efek sebagai antibiotik dan imunosupresan. CS-A umumnya diberikan dalam dosis awal 2,5 – 3,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat ditingkatkan 0,5 – 1 mg/kgBB/hari setiap 1 – 2 bulan sehingga mencapai 5 mg/kgBB/hari. Jika dosis maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan pasien telah berada dalam keadaan stabil sekurang-kurangnya 3 bulan, dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB/hari setiap 1 atau 2 bulan. Jika tidak dijumpai respon klinis setelah penggunaan CS-Adosis maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus dihentikan.
g. Leflunomide (Lef)
Merupakan DMARD terbaru yang digunakan sejak akhir tahun 1998. Khasiat setara dengan MTX, sehingga baik untuk digunakan pada pasien yang gagal diobati dengan MTX atau yang tidak dapat mentolerir MTX. Mekanisme kerja diduga berhubungan dengan kemampuan menekan aktivitas enzim tirosine kinase dan menghambat biosintesis pirimidin de novo melalui penghambatan enzim dihidroorotat dehidrogenase. Lef juga menghambat proses mitogen dan sel Tyang dirangsang oleh IL-2. Dosis awal 100 mg/hari selama 3 hari berturut turut kemudian dilanjutkan 10 – 20 mg/hari.
h. Modulator inflamasi biologis / Inhibitor TNF α
1) Etanercept (Eta)
Obat ini bekerja dengan mengikat TNF α dalam sirkulasi secara kompetitif sehingga TNF α tidak dapat menempati reseptornya pada permukaan sel, dengan demikian aktivitas biologisnya akan terhambat. Eta sangat baik digunakan sebagai kombinasi dengan MTX karena mempercepat perbaikan radang sendi pada RA. Onset Eta sangat cepat, dimana dapat menimbulkan perbaikan radang sendi dalam waktu 1-2 minggu saja. Dosis 25 mg subkutan dalam interval dua kali seminggu.
2) Infliksimab (IFX)
IFX bekerja dengan mengikat TNF α dalam sirkulasi dan mencegah terjadinya interaksi antara TNF α dengan reseptornya pada sel inflamasi dan akhirnya dapat membersihkan TNF α dari sirkulasi. Seperti Eta, IFX juga menghambat aktivitas TNF α. IFX umumnya digunakan bersama MTX untuk mengtasi gejala AR dan menghambat progresi kerusakan struktural pada pasien AR aktif yang tidak menunjukkan respon adekuat pada pengobatan tunggal denhgan MTX. Dosis pertama IFX 3 mg/kgBB digunakan dalam larutan infus yang diberikan selama 2 jam, kemudian diulangi pada minggu ke 2 dan ke 6 dan selanjutnya setiap 8 minggu.
3. Bridging therapy
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari. Hal ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.





REFERENSI
Daud Rizasyah. Artritis reumatoid Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1174-81.
Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek. Kapita selekta kedokteran Edisi Ketiga Jilid I.Media Aesculapius FKUI. 2001. 535-9; 542-6.
Soeroso Joewono, Isbagio Harry, Kalim Handono, Broto Rawan, Pramudiyo Riardi. Osteoartritis Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1195-291.
Tehupeiory Edward Stefanus. Artritis pirai (gout) Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1208-10.
Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-obat penting Khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingya. Elex Media Komputindo. 2002. 306-23.

Rehabilitasi Jantung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Rehabilitasi jantung adalah suatu program dimana pasien dengan penyakit jantung, kerjasama dengan tim kesehatan professional yang berasal dari multidisiplin ilmu, keluarga, dan masyarakat; guna mendukung dan mensuport pasien untuk mencapai dan mengatur kesehatan fisik dan psikososial yang optimal.
Program ini berisi tentang rekomendasi angka kejadian untuk rehabilitasi jantung yang terutama berhubungan dengan rehabilitasi pada miokard infark (MI), revaskularisasi koroner, serta kebutuhan rehabilitasi pada pasien dengan angina dan gagal jantung. Rehabilitasi jantung bisa dilakukan bersamaan dengan prevensi sekunder. Untuk memahami perbedaannya, harus diingat bahwa rehabilitasi jantung memfasilitasi penyembuhan sedangkan prevensi sekunder mencegah penyakit lebih lanjut.

B. Fase-fase rehabilitasi jantung
Merupakan hal yang penting untuk mengetahui 4 fase rehabilitasi jantung yang masing-masing mempresentasikan komponen perjalanan penyakit yang berbeda. Perawatan pasien, periode awal lepas RS, training exercise, dan follow up. Beberapa negara hanya menggunakan 3 fase, dengan menamakan fase periode awal lepas RS sebagai fase 2A dan training exercise sebagai fase 2B. berdasar pada masing masing fase dan terlepas dari rehabilitasi jantung mana yang dipilih, merupakan hal yang penting akan adanya intervensi pada pasien dan komunikasi yang baik dengan penyedia layanan spesial jantung, pelayanan primer, dan pelayanan komunitas. Fase-fase rehabilitasi jantung adalah sebagai berikut:
1. Fase 1
Fase 1 adalah fase perawatan pasien. Fase ini terutama terjadi selama perawatan dalam rumah sakit atau setelah terdapat “step change” pada kondisi pasien jantung (MI, angina, coronary heart disease (CHD), bedah jantung (angioplasty), gagal jantung). Selama fase eveluasi medis terdapat elemen-elemen kunci yang harus diperhatikan yaitu kepastian dan edukasi, koreksi terhadap kesalahpahaman konsep/gambaran penyakit jantung, assessment, factor resiko, mobilisasi dan rencana pemulangan pasien.
Merupakan hal yang biasa untuk melibatkan keluarga, teman/patner, dan perawat sejak stadium awal. Seorang perawat dapat meningkatkan pengetahuan pasien ataupun patnernya mengenai penyakit jantung, mengurangi kecemasan dan depresi yang digabungkan dengan perawatan rutin yang didapatkan pasien.
2. Fase 2
Fase 2 adalah fase dimana pasien merasa terisolasi dan tidak nyama/gelisah.Dukungan terhadap pasien dapat diberikan dengan “home visite”, kontak telpon,dan memperhatikan manfaat heart manual. Heart manual merupakan self help program bagi pasien untuk penyembuhan dari serangna jantung, mengurangi kecemasan, depresi, dan angka rata-rata kembali ke RS.
3. Fase 3
Fase tiga merupakan fase training exercise, dimana fase ini telah mencakup bentuk-bentuk program latihan terstruktur di RS, dengan mendukung edukasi dan psikologi serta informasi dan saran mengenai fakto resiko yang ada. Fase ini menunjukkan bahwa program antar komponen dapat dijalankan secara amandan lancar pada masyarkat.
4. Fase 4
Fase 4 meliputi pengaturan jangka panjang dari aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup.

C. Perkembangan rehabilitasi medik
Program latihan rehabilitasi kardiak terus berkembang sejak British Cardiac Society Working Party Report menampilkan 99 program dan terus berkembang hingga mencapai 300 pada tahun 1997. Namun, perkembangan jumlah tersebut tidak diikuti oleh perkembangan kualitas. Program-program tersebut cenderung kekurangan sumber daya dan tidak mengikuti petunjuk nasional yang telah menjadi ketetapan. Suatu penelitian di Skotlandia selama tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai median dari durasi dan frekuensi program exercise adalah 11 minggu (2x/minggu), sedangkan program edukasi diselenggarakan pada waktu yang terpisah dari kelas exercise,tergantung pada ketersediaan fasilitas. Program ini memiliki nilai median 6 minggu.

BAB II
INTERVENSI PSIKOLOGI DAN EDUKASI

Rehabilitasi jantung yang terkomprehensi meliputi exercise training dengan dukungan psikologi dan edukasi. Tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk memfasilitasi pengembalian ke kehidupan normal dan mendukung pasien untuk menciptakan perubahan gaya hidup dengan tujuan mencegah kejadian/serangan yang akan datang. Dukungan edukasi dan psikologi juga diperlukan untuk menghadapi stress psikologis yang sering mengikuti kejadian myocard infarct (MI).
1. Prediktor Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa stress psikologis dan dukungan sosial yang rendah sangat mempengaruhi gejala yang timbul pasca MI, sehingga hal tersebut dapat digunakan sebagai prediktor luaran pasca MI. Stress psikologis juga merupakan prediktor penting dari pembiayaan RS pada kejadian penyakit jantung, yaitu pasien yang disertai stres psikologis menghabiskan rata-rata 4 kali biaya pasien nonstres. Depresi dan kecemasan juga memegang peranan penting pada etiologi CHD.
a. Depresi
Rata-rata prevalensi kejadian depresi pada pasien MI adalah 15-45%. Depresi dihubungkan mortalitas kardiak yaitu dengan mningkatkan angka mortalitas 3-4 kali lipat. Depresi biasa terjadi pada pasien dengan CHD dan dihubungkan dengan peningkatan resiko dari kejadian cardiacpada unstable angina.
b. Kecemasan
Tingkat kecemasan yang tinggi akan memberikan hasil perawatan medis yang kurang memuaskan. Pada unit perawatan coroner, tingkat kecemasan dihubungkan dengan peningkatan resiko sindrom coronary akut, dan aritmia setelah 12 bulan. Kecemasan juga akan meningkatkan angka kematian. Berdasarka hal tersebut maka pasien dengan penyakit koroner hendaknya melewati screening kecemasan dan depresi, umtuk perlunya dilakukan terapi psikologis.
c. Personality
Suatu penelitian menyatakan bahwa tipe kelakuan juga mengambil peranan, dimana disebutkan bahwa kelakuan yang agresif kompetitif, dan sikap yang bermusuhan (type A) merupakan faktor resiko independent dari CHD.
d. Cardiac Misconseption
Cardiac Misconseption merupakan kepercayaan yang salah tentang problem mengenai jantung yang sering menyebabkan masyarakat menjadi berlebihan dalam memberikan perhatian dan berespon tidak sebagaimana mestinya. Suatu penelitian menyatakan bahwa kapasitas fungsional pada 12 bulan paska MI sangat berhubungan dengan umur dan penyebab awal yang mempengaruhi. Penelitian lain menyatakan bahwa pasien angina pria lebih sering berhubungan denga angina dengan faktor yang lebih terkontrol daripada pasien wanita, dimana penyebab semakin tidak dapat dikontrol oleh pasien (misalnya merasa bahwa pekerjaan yang penuh stress menyebabkan MI) akan cenderung memiliki masalah untuk kembali bekerja, kembali pada fungsi sosial dan domestik, serta memiliki masalah seksual dan sedikitnya keinginan untuk mengikuti program rehabilitasi jantung. Untuk itu, seharusnya para petugas di bidang rehabilitasi jantung seharusnya mengidentifikasi dan memberi informasi serta meluruskan kepercayaan atau anggapan mengenai kesehatan dan misconception pada pasien dengan PJK.

2. Ukuran kesejahteraan Psikologis
Tidak ada consensus yang telah tercapai yang menyatakan adanya suatu alat sebagai ukuran kesejahteraan psikologis, namun yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah Hospital Anxietas and Depression Scale (HADS) yang meliputi 14 pertanyaan dengan subskala terpisah untuk anxietas dan depresi. Skor 0-7 : pada skala menunjukkan keadaan normal, 8-10 = borderline, >11 adanya indikasi klinis depresi/anxietas.
HADS seharusnya diulangi 6-12 minggu setelah kejadian /serangan karena waktu sangat menentukan kecemasan dan depresi, dimana symptom yang pesisten dari waktu ke waktu berhubungan dengan prognosis yang buruk dan membutuhkan terapi segera.

3. Keefektifan Intervensi Psikologis dan Edukasi
Intervensi Psikologis meliputi konseling individual dan group, managemen stres, relaksasi, psikoterapi grup, pendekatan kelakuan kognitif, seting tujuan, dan hipnoterapi.
Intervensi edukasi meliputi intervensi terhadap edukasi individual dan grup pada aspek dari CHD, diet yang sehat, pengurangan rokok,, hipertensi, olahraga, self monitoring,pemberian buklet tentang MI, saran kesehatan dan konseling vokasional.
a. Hasil di Bidang Kardiovaskuler
Analisis terhadap 8.988 pasien menunjukkan bahwa program rehabilitasi kardiak menghasilkan penurunan 34% mortalitas karena penyakit jantung dan 29% penurunan MI berulang. Study dengan respon terbesar terhadap intervensi menunjukkan penurunan terbesar pada mortalitas dan MI berulang mengimplikasi kesuksesan yang berhubungan dengan factor resiko, termasuk tingkah laku, emosi, distress yang berhubungan dengan penurunan serangan jantung.
b. Hasil di Bidang Psikologis
Kejadian terapi psikologis dan edukasi pada kardiak rehabilitasi akan menurunkan faktor resiko dan stress psikologis merupakan hal yang masih berupa dugaan dan belum dapat disimpulkan. Dua meta analisis mendukung penggunaan terapi tersebut tetapi 3 meta analisis lain tidak. Penjelasan yang mungkin dari hal tersebut adalah karena subjek yang digunakan memiliki gejala psikologis yang relative rendah, tidak adanya alat ukur yang tepat umtuk mengukur perubahan psikologis, dan kurangnya pelatihan terhadap para pelaku intervensi psikologis.
4. Prinsip perubahan tingkah laku
a. Target terapi
Berdasarkan bukti penelitian, didapatkan bahwa metode yang menggunakan target terapi sesuai kebutuhan pasien secara individu akan lebih efektif dalam merubah tingkah laku daripada menerapkan semua aspek dalam suatu program kepada setiap pasien. Hal ini sesuai dengan program yang telah diterapkan oleh British Association for Cardiac Rehabilitation (BACR) dan Scottish Needs assessment Programme (SNAP). Dengan demikian maka terapi psikologi dan intervensi terhadap tingkah laku harus diterapkan sesuai target yang disesuaikan degna kebutuhan pasien secara individu.
b. Prinsip psikologi dan model perubahan tingkah laku
Beberapa model terapi psikologi memberikan keberhasilan dalam perubahan tingkah laku, yaitu :
 Cognitive Behavioural Therapy (CBT) adalah struktur terapi yang bertujuan membengkitkan kepercayaan, asumsi, pola pikir dan kebiasaan. CBT dapat membantu pasien mengidentifikasi pemikiran yang tidak berguna dan mengetahui penyebab yang mendasarinya, dan serta memberi solusi yang dapat diterapkan untuk mengelola perubahan tingkah laku, pola pikir, dan keadaan jiwa/suasana hati. CBT efektif dalam kondisi psikis yang beragam, misalnya kecemasan, depresi, gangguan pasca trauma, dan kondisi medis (misalnya pada pasien angina).
 Health Behavioural and Illness Representation Models, bersama-sama dengan metode enhancing self-effifacy, memberikan kekuatan tambahan dalam proses perubahan tingkah laku. Model ini juga termasuk dalam prinsip cognitive-behavioural.
 Motivational interviewing adalah model yang dapat membantu pasien membangun komitmen dan merealisasikan suatu keputusan untuk berubah. Dengan metode ini, maka motivasi yang timbul berasal dari pasien sendiri (intrinsik), bukan berupa paksaan, sehingga akan memperkuat perubahan tingkah laku. Metode ini dapat digunakan ketika pasien ambivalen atau menentang untuk berubah. Strategi ini berasal dari beberapa model terapi. Motivasi ini dapat diterapkan secara jelas kepada pasien jantung dan digunakan efektif dalam penelitian secara randomize trial mengenai perubahan tingkah laku sebelum revaskularisasi koroner.
Metode sistematik dan pendekatan secara individual di atas berbeda secara kualitatif dibandingkan edukasi, dimana jika diterapkan tanpa metode lain tidak efektif untuk menghasilkan perubahan tingkah laku.
c. Prinsip edukasi
Dari analisis mengenai edukasi kesehatan pada pasien penyakit jantung menyatakan bahwa hal terpenting untuk efektifitas edukasi adalah kualitas dari intervensi, yang tergantung dari hubungan kelima prinsip pembelajaran pada obyek dewasa, yaitu :
 Relevansi (menyesuaikan pengetahuan, kepercayaan, dan kondisi pasien)
 Individualisasi (menyesuaikan kebutuhan personal)
 Feedback (memberikan informasi mengenai kemajuan dengan pembelajaran atau perubahan)
 Reinforcement (memberikan hadiah/penghargaan atas kemajuan)
 Fasilitas (memberikan cara untuk melakukan sesuatu dan mengurangi rintangan)
Behavioural technique seperti self-monitoring dan personal communication, termasuk teknik tertulis atau teknik audiovisual akan meningkatkan hasil yang dicapai. Jenis atau durasi intervensi dinyatakan tidak berhubungan dengan efektivitas intervensi.
Rehabilitasi jantung komprehensif diartikan sebagai prinsip edukasi pada obyek dewasa dan perubahan tingkah laku.

4. Intervensi edukasi dan psikologi
a. Heart manual
Heart Manual adalah rehabilitasi behavioural kognitif selama 6 minggu pada pasien post miokard infark. Dikembangkan dari Health Belief Model, program ini didesain untuk mengoreksi perbedaan persepsi tentang penyebab serangan jantung, dan dalam waktu yang sama membantu pasien membangun strategi untuk mengahadapi stres. Hal tersebut meneankan pada self-management, tetapi harus direkomendasikan oleh seorang dokter dan dilayani oleh perawat professional. Healt manual adalah salah satu jalan memberikan edukasi dan dukungan psikologi untuk pasien post infark miokard, walaupun beberapa pasien tetap membutuhkan bantuan orang lain.
Heart Manual direkomendasikan untuk memfasilitasi rehabilitasi jantung secara komprehensif.
b. Terapi depresi dan kecemasan
Antidepresan dapat menurunkan depresi pada pasien dengan penyakit-penyakit fisik seperti penyakit jantung kongestif. Beberapa randomisasi trial mengindikasikan bahwa intervensi psikologi dini dapat memperbaiki suasana hati pada pasien jantung.
Walaupun derajat ansietas dan depresi berhubungan dengan gejala seperti sulit tidur, sulit konsentrasi, kurang energi, suasana hati kurang baik sering didapatkan pada pasien penyakit jantung. Perasaan tidak senang yang berkepanjangan atau ansietas tidak selalu dan tidak harus diterima sebagai reaksi yang tepat.
Semua pasien jantung yang mengalami kecemasan dan depresi harus mendapatkan terapi yang tepat. Bila diperlukan antidepresan maka harus dipiliha yang tidak menimbulkan efek samping pada jantung.



c. Terapi psikologis
Terapi psikologi merupakan kelanjutan dari konseling secara umum, yang awalnya para praktisi menggunakan metode psikologis namun tidak ada pelatihan secara khusus, sampai dengan sekarang digunakan model teori spesifik dengan praktisi yang di latih secara khusus. Program rehabilitasi jantung mempunyai akses terbatas untuk melatih para terapis, sehingga implikasinya adalah banyak distress psikologis yang dialami pasien dengan penyakit jantung.
Terapi psikologi sederhana, seperti terapi yang memfokuskan terhadap solusi, mungkin lebih tepat untuk pasien dengan stress tingkat ringan, dan akan mendapat hasil efektif bila petugas rehabilitasi mengetahui kebutuhan pasien. Pengalaman terapis sangat mempengaruhi keberhasilan suatu terapi. Pasien dengan problem yang lebih komplek (menengah-berat) membutuhkan terapis yang telah dilatih khusus dan berpengalaman menggunakan teknik khusus misalnya teknik cognitive behavioural therapy.

6. Aspek perubahan tingkah laku
a. Berhenti merokok
Status merokok pasien harus diketahui pada semua pasien serta metode berhenti merokok pada pasien perokok. Nasehat singkat dari praktisi kesehatan, konseling kelompok dan perorangan, dan nicotine replacement teraphi dapat meningkatkan jumlah perokok yang berhenti merokok.
b. Pola makan dan diet yang sehat
British Dietetic Association membuat panduan diet pada prevensi sekunder penyakit jantung, dimana dengan meningkatkan konsumsi asam lemak omega-3 (dari minyak ikan dan minyak lobak) dan meningkatkan konsumsi buah dan sayur minimal 5 porsi tiap hari. Dianjurkan untuk mengurangi konsumsi lemak jenuh dan diganti secara parsial maupun total dengan lemak tidak jenuh. Pedoman ini khususnya ditujukan kepada pasien yang membutuhkan penurunan berat badan atau tidak berhasil dalam program penurunan kadar lipid.
c. Aktivitas seksual
British Heart Foundation telah menerbitkan fakta-fakta tentang aktivitas seksual pada pasien infark miokard.


























BAB III
TERAPI LATIHAN

Komponen latihan pada rehabilitasi jantung terdiri dari pengenalan kondisi fisik pasien dan pengetahuan tentang latihan rutin untuk melindungi serangan penyakit jantung. Fisik yang tidak aktif meningkatkan risiko tinggi terjadinya penyakit jantung koroner dua kali lipat. Latihan terstruktur merupakan terapi intervensi yang merupakan inti dari rehabilitasi jantung.
A. Manfaat terapi latihan kebugaran
1. Mortalitas dan luaran terapi pada penyakit`kardiovaskular
Randomised trial mengemukakan dua tipe exercise-based cardiac rehabilitation, yaitu: exercise dan exercise beserta aspek psikologi dan intervensi pendidikan, biasanya akan menghasilkan rehabilitasi jantung yang komprehensif.
Berdasarkan penelitian mengenai Laki-laki dan perempuan pada semua umur dengan infark miokard, revaskularisasi, atau angina ditemukan bahwa exercise dapat menurunkan penyebab kematian sebesar 27%, cardiac death sebesar 31%, nonfatal infark miokard dan revaskularisasin sebesar 19%. Manfaatnya dapat memperpanjang usia sebanyak 2,4 tahun.
Terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan kegagalan rehabilitasi jantung komprehensif, yaitu tidak terstrukturnya exercise pada rehabilitasi jantung yang melibatkan aspek psikologi dan pendidikan kesehatan. Penyebab lainnya adalah exercise hanya ditujukan pada pre trombolisis. Ini berarti manfaat rehabilitasi komprehensif mencakup trombolisis, terapi profilaksis, dan revaskularisasi.
2. Luaran Psikologis dan luaran program lain
Terdapat banyak pendapat mengenai penurunan jumlah kematian dan reinfark bukan satu-satunya ukuran efektivitas rehabilitasi jantung. Hanya dengan melakukan exercise dapat menerapkan physical performance, strengthening otot, latihan bernapas. Rehabilitasi jantung komprehensif dapat meningkatkan fungsi psikologi, perbaikan social, dapat kembali bekerja, dan factor risiko biologi.
B. Safety issues
Sebagian besar pasien akan memperoleh manfaat terapi apabila melakukan sedikitnya exercise intensitas rendah sampai sedang. Walaupun pasien dengan kondisi klinik tidak stabil tidak dimasukkan dalam program latihan.
Hasil penelitian salah satu pusat rehabilitasi menyatakan terdapat empat komplikasi besar (tiga cardiac arrest dan satu non fatal miokard infark) terjadi dalam periode sembilan tahun. Tiga cardiac arrest dapat terjadi pada pasien yang telah menjalani training exercise lengkap selama 12 minggu kemudian menjalani program pemeliharaan.
C. Penilaian sebelum terapi latihan
Stratifikasi resiko klinik berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan ECG yang dikombinasikandengan uji kapasitas fungsional seperti walking tes atau walking tes selama enam menit.
Yang termasuk pasien dengan resiko tinggi, adalah sebagai berikut:
 Pasien dengan riwayat infark miokard sebagai komplikasi gagal jantung, shock kardiogenik dan atau aritmia ventricular komplek.
 Angina atau dispnoe pada exercise ringan, misalnya tidak dapat menyelesaikan walking test pada empat menit pertama.
 Depresi ST segment > 1 mm pada ECG kondisi istirahat.
 Depresi ST segment > 2 mm atau angina pada level < 5 METS ( 3 menit pad protokol Bruce)
Tes kebugaran dan ekokardiografi direkomendasikan untuk menilai iskemia residual dan fungsi ventrikular tapi bukan suatukeharusan pada rehabilitasi jantung kecuali untuk latihan dengan intensitas tinggi atau pasien-pasien dengan resiko tinggi.
Stratifikasi resiko klinik sudah cukup untuk menilai pasien dengan resiko ringann sampai sedang yang menjalani latihan dengan intensitas rendah sampai sedang.
Tes kebugaran dan ekokardiografi direkomendasikan untuk pasien dengan resiko tinggi dan atau latihan dengan intensitas tinggi ( dan sesuai untuk menilai iskemi residual dan fungsi ventrikular).
Kapasitas fungsional sebaiknya dievaluasi sebelum dan saat menyelesaikan latihan kebugaran dengan menggunakan pengukuran yang valid dan reliabel.
1. Shuttle walking test
Shuttle walking test telah lama dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit pernafasan, tapi baru-baru ini juga digunakan untuk menilai kapasitas fungsional sebelum dan setelah rehabilitasi jantung pada pasien-pasien yang telah menjalani operasi jantung atau penanaman pacemaker dan pasien-pasien gagal jantung kronik.
Shuttle walking test dapat menjadi alternatif untuk untuk tes kebugaran yang dapat memberi informasi pada tim rehabilitasi untuk memilih program exercise yang tepat dan sekaligus dapat menilai kemajuan selama rehabilitasi jantung tanpa membutuhkan teknisi jantung, physicians atau alat yang mahal.
Perbandingan pasien:staf sebaiknya tidak melebihi 10:1 selama sesi latihan. Staf yang telah menjalani training basic life support dan mampu menggunakan defibrilator diperlukan pada kelompok latihan pasien-pasien dengan reiko rendah sampai sedang. Dibutuhkan sekurang-kurangnya satu staf yang telah menjalani training advanced life support untuk pasien-pasien dengan resiko tinggi dan kelas dengan latihan intensitas tinggi.






D. Terapis
Tidak ada kesepakatan pada jumlah terapis untuk program-program latihan pada fase 3. UK guidelines merekomendasikan dua terapis terlatih selama latihan kebugaran dengan perbandingan pasien : terapis tidak lebih dari 5:1. Australian guidelines menganjurkan rasio pasien : terapis tidak melebihi 10 : 1. Terdapat satu kekurangan dari konsensus pada training life suppport, UK guidelines menganjurkan training basic life support untuk semua terapis, dan sekurang-kurangnya terdapat satu terapis pernah menjalani pelatihan advanced life support, sedangkan Australian guidelines tidak mengharuskan persyaratan untuk pasien-pasien yang menjalani latihan kebugaran dengan intensitas ringan sampai sedang.
E. Lokasi
Sejumlah penelitian randomised control trials dan studi observasional luas membuktikan bahwa latihan dengan intensitas ringan samapi sedang pada pasien dengan resiko rendah sampai sedang dapat dilakukan di rumah atau lingkungan tempat tinggal seaman dan seefektif jika dilakukan di rumah sakit. Pasien dengan resiko tinggi dan pasien yang menjalani latihan dengan intensitas tinggi sebaiknya hanya dilakukan di tempat-tempat yang memiliki fasilitas resusitsi lengkap dan staf yang terlatih dengan advanced life support training.
Pasien beresiko rendah sampai sedang dapat menjalani latihan dengan intensitas ringan sampai sedang di rumah atau lingkungan tempat tinggal seaman dan seefektif jika dilakukan di rumah sakit.
Latihan untuk pasien beresiko tinggi dan pasien yang membutuhkan latihan dengan intensitas tinggi sebaiknya melakukan latihan di rumah sakit atau tempat-tempat dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Sebagai catatan, pasien-pasien yang melakukan latihan di rumah sebaiknya mempunyai akses review secara regular dan disupport oleh staf rehabilitasi jantung.

G. Isi latihan
Cardio-respiratory fitness membutukan latihan aerobik dengan intensitas ringan sampai sedang, durasi panjang dan gerakan berulang dan kelompok otot besar. Frekuensi, intensitas dan durasi lathan bisa bervariasi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pilihan terbaik untuk tiap individu menentukan jenis aktifitas yang sesuai. Yang termasuk dalam latihan aerobik adalah bersepeda, berjalan, jogging, rowing, atau calisthenic. Di inggris, sirkuit latihan aerobik tradisional digunakan untuk kelompok-kelompok latihan dan merupakan sebuah metode yang efektif untuk latihan jantung.
Sesi latihan sebaiknya adalah sebagai berikut:
 Pemanasan selama 15 menit
 Latihan aerobik 20-30 menit
 Pendinginan selama 10 menit
 Relaksasi 5-10 menit
1. Intensitas latihan
Terdapat beberapa studi baru tentang rehabilitasi jantung berbasis exercise dengan metode random pada pasien-pasien dengan intensitas latihan tinggi plus usual care atau usual care alone. Empat penelitian membandingkan latihan intensitas tinggi dengan intensitas ringan sampai sedang. Tiga diantaranya tidak menemukan perbadaan yang berarti pada angka kematian, infark ulang, kondisi fisik, psikologis, kapasitas kerja fisik atau kualitas hidup pasien setelah 12 bulan latihan. Pada satu studi, pasien-pasien dlam kelompok latihan intensitas tinggi mengalami peningkatan maximal oxygen uptake yang signifikan.
Latihan dengan intensitas tinggi dapat dipertimbangkan untuk mereka dengan pekerjaan yang membutuhan fisik yang kuat, dan untuk pria atau wanita muda yang ingin berolahraga. Latihan dengan intensitas tinggi pada jantung adalah lebih dari 75 % heart rate maximum selama symptom limited exercise test. Walaupun latihan dengan intensitas tinggi jarang memicu takikardi ventrikular atau miokard infark, dianjurkan pertama tama para pasien menjalani limited symptom exercise test. Pada pasien beresiko tinggi sebaiknya tidak dilakukan atau dimonitor secara intensif selama latihan.
Latihan aerobik, latihan dengan intensitas ringan sampai sedang, yang dirancang sesuai dengan tingkat kebugaran, direkomendasikan untuk sebagian besar pasien yang menjalani latihan kebugaran.
2. Frekuensi dan lama latihan
Sebagian besar program rehabilitasi jantung berbasis exercise terbaru terdiri dari tiga sesi latihan per minggu selama 8 minggu atau lebih. Latihan 2 kali seminggu telah lama dilakukan untuk meningkatkan kapasitas kerja fisik maksimum dengan dengan lam waktu yang asama. Studi lanjut menyebutkan hospital-based exercise ditambah dua home-based exercise sekali seminggu efektif dalam meningkatkan kapasitas kerja fisik seefektif hospital based-exercise saja selama 3 minggu. Ini menunjukkan bahwa gabungan dari latihan yang teratur, sesuai gaya hidup pasien lebih penting daripada latihan yang formal yang lama dengan frekuensi tinggi.
Komponen latihan formal dari rehabilitasi jantung sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya dua kali seminggu selama minimal delapan minggu.
Latihan sekali seminggu dengan ditambah dua sesi latiahan di rumah meningkatkan kapasitas latihan yang sama efektifnya dengan tiga kali seminggu latihan di rumah sakit saja.
H. Monitoring terapi latihan kebugaran
Intensitas latihan dapat dipantau baik dengan perceived exertion menggunakan Brog’s scale maupun dengan monitor denyut jantung. Perceived exertion scale menggambarkan intensitas secara subyektif dari latihan. Nilai Borg’s scale memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran intensitas obyektif lain, syaitu oxygen uptake dan heart rate. Tujuannya agar pasien dapat mencapai suatu level yang ’comfortable breathlessneess’ ketika melakukan exercise dan membedakan antara latihan dengan intensitas tinggi dan intensitas sedang sampai berat. Pasien dapat mengambil beberapa sesi yang sesuai denganya dan mampu menggunakan skala in. Tingkatan perceived exertion sebaiknya hanaya digunakan sebagai panduan dalam intensitas latihan, seperti pada pasien jantung mungkin menunjukkan secara signifikan skor yang lebih rendah dari perceived exertion pada intensitas latihan yang diberikan dibanding kontrol dengan umur yang sesuai.
Monitor denyut jantung paling baik digunakan untuk membantu pasien sampai mereka familiar dan mampu menggunakan Borg’s scale.
Intensitas latihan sbaiknya dimonitor dan diatur dengan perceived exertion menggunakan Borg’s scale atau dengan monitor denyut jantung.
Tabel korelasi anatara level latihan dengan perceived exertion dan heart rate
Exercise training level Perceived exertion rate (Borg) Perceived breathing rate % maximal heart rate frome symptom limited exercise test





LOW

MODERAT

HIGH 6 No exertion et all
7 Very, very light
8
9 Very light
10
11 Fairly light
12
13 Somewhat hard
14
15 Hard (hevy)
16
17 Very hard
18
19 Very, very hard
20 Maximal exertion




SING

TALK

GASP




50-60

60-75

75-85




I. Latihan ketahanan
Kunci keberhasilan rehabilitasi jantung adalah untuk mengembalikan aktifitas hidup sehari-hari secara penuh. Hal ini membutuhkan latihan kekuatan otot sebaik latihan ketahanan aerobik. Ketahanan ( atau kekuatan) latihan mampu meningkatkan kekuatan otot, fungsi kardiovaskuler, resiko penyakit kardiovaskuler, dan psikologis dengan baik. Kebanyakan penelitian, dari latihan ketahanan rendah- sedang, (<70% kontraksi volunter maksimum) akan menyatu dalam badan setelah empat minggu setelah kejadian.
Pelatihan ketahanan secara tunggal atau single set, yakni dua sampai tiga kali perminggu (ketika latihan ditampilkan satu set sebagai pengulangan 10-15 detik), sama efektifnya dan lebih menghemat waktu dengan berlatih sekali tiap minggu dengan program multi set (ketika latihan dilakukan setiap dua atau lebih pada satu sesi).
Resiko sakit jantung ringann sampai sedang dapat ditangani dengan latihan ketahanan.
1. Pasien dapat mengambil keuntungan dari latihan aerobik yang diawasi terlebih dahulu daripada latihan ketahanan untuk memungkinkan mereka menguasai kemampuan memonitor dirinya dan secara teratur dan berlatih dengan giat.
2. Tekanan darah dapat meningkat selama latihan ketahanan lebih tinggi daripada selama latihan aerobik. Pasien hipertensi sebaiknya jangan didaftarkan terlebih dahullu sampai tekanan darah mereka terkontrol dengan baik.
I. Latihan ketahanan jangka panjang
Dibahas pada bab V.





BAB IV
PERLAKUAN-PERLAKUAN PADA BEBERAPA
KELOMPOK KONDISI PASIEN KHUSUS

Meskipun rehabilitasi jantung telah dijelaskan dapat sesuai pada semua pasien dengan penyakit jantung, kebanyakan peneliti peduli pada pria putih usia 50 tahunan dengan recent miokard infark atau operasi arteri koroner. Kelompok lainya yang menarik perhatian pada passien lebih tua, perempuan dan pasien berisiko tinggi dengan gagal jantung atau angina tidak dikelompokkan dalam kebanyakan penelitian, sampai sekarang kelompok ini menambah jumlah besar pasien dengan penyakit jantung koroner. Sejumlah kecil namun meningkat yang dilakukan sejumlah peneliti telah menghubungkan efek rehabilitasi jantung pada sub kelompok ini.
A. Pasca myocardial infarction
Sebagaimana telah didiskusikan pada Bab III, baik hanya latihan dan rehabilitasi jantung komprehensif menurunkan semua penyebab kematian dan kematian karena jantung, infark miokard non fatal dan revaskularisasi. Latihan telah menunjukkan peningkatan kemampuan fisik, kekuatan otot, dan gejala dari sesak nafas dan angina. Rehabilitasi jantung komprehensif menambah fungsi fisiologis, pemulihan sosial, kembali bekerja dan faktor resiko biologi. Program rehabilitasi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing pasien. Rehabilitasi jantung komprehensif direkomendasikan setelah infark miokard
B. Pasca coronary bypass dan angioplasty
Keuntungan dari latihan berdasar rehabiliatsi jantung untuk pasien yang akan menjalani revaskuularisasi tidak dipikirkan secara terpisah pada setiap identifikasi ulang. Tiga percobaan secara random termasuk penelitian Cochrane mengulangi kembali pelaporan efek latihan berdasar rehabilitasi setelah operasi bypass, sedangkan salah satunya terdiri dari hanya pasien yang telah menjalani angioplasty. Tak satu pun dari penelitian ulang ini didesain atau untuk memperkuat efek rehabilitasi jantung pada kejadian timbulnya penyakit atau kematian setelah revaskularisasi. Rehabilitasi jantung komprehensif bisa membuat penurunan serum lipid dan ketertarikan meningkatkan kesehatan setelah ooperasi bypass, padahal latihan rehabilitasi jantung saja hanya dihubungkan dengan peningkatan kemampuan latihan tetapi tidak ada efek pada lemak atau berat badan.
Pada penilitian tentang rehabilitasi jantung setelah angioplasty termasuk dalam penelitian ulang Cochrane, kelompok latihan tampak kecil kemungkinan butuh revaskularisasi selama folow up. Kemungkinan karena mereka tidak menjalani operasi bypass atau MI yang selamat, pasien angioplasty mempunyai sedikit perubahan gaya hidup dibanding pasien jantung lainnya dan kecil kemungkinan untuk menghadiri program rehabiliatsi jantung. Dua penelitian acak tambahan tentang rehabilitasi jantung post angioplasty telah diteliti. Salah satu menemukan bahwa rehabilitasi jantung meningkatkan kapasitas latihan, diet dan merokok tetapi tidak kualitas hidup atau faktor fisiologis, sementara yang lain menyediakan bukti lebih baru bahwa rehabilitasi jantung komprehensif setelah angioplasty menurunkan kebutuhan revaskularisasi yang akan datang.
Rehabilitasi jantung komprehensif direkomendasikan untuk pasien yang akan menjalani revaskularisasi koroner.
C. Stable angina
Pengulangan kembali hanya latihan rehabilitasi jantung pada pasien dengan angina telah menunjukkan mengembangkan kapasitas latihan, gejala dan iskemia. Rehabilitasi jantung komprehensif telah menunjukkan keuntungan sama dan keduanya menurunkan perkembangan atau lebih menurunkan kejadian aterosklerosis pada kelompok yang diteliti. Program yang termasuk ke dalam penelitian ini semua semakin intensive daripada perogram masa kini di Skotlandia.
Tiga penelitian baru-baru ini tentang hanya latihan pada rehabilitasi jantung mempertegas bahwa pelatihan ini meningkatkan kapasitas latihan. Salah satu menemukan pengembangan iskemi miokard pada tes latihan. Salah satu penelitian mengevaluasi efek pada kualitas hidup dan ditemukan perbaikan. Bukti dari dua penelitian menyarankan respon dari dosis yakni lebih menguntungkan dengan intensitas latihan lebih sering.
Dua penelitian acak terkontrol baru-baru ini dari rehabilitasi jantung komprehensif dilaporkan juga memberi manfaat. Pada salah satu percobaan terjadi lebih sedikit kejadian jantung pada kelompok yang diintervensi dan pada pasien yang lain yang menunggu untuk non urgent Coronary Artery Bypass Graft (CABG) telah meningkatkan kualitas hidupnya, meskipun lama inap di rumah sakit telah menurun dengan rata-rata hanya satu hari.
Rehabilitasi jantung komprehensif berdasar pengaruh lebih pada pendekatan perilaku kognitif telah dinilai pada salah satu penelitian acak melibatkan 80 pasien dengan angina. Terdapat perbaikan pada kapasitas latihan, emosi yang sedih, gejala dan ketidakmampuan. Suatu penelitian acak tentang pendidikan kesehatan untuk pasien dengan angina dengan perawatan primer di dapatkan peningkatan latihan, diet dan kualitas hidup tetapi tidak berefek pada kadar merokok, lemak, atau tingkat tekanan darah.
Pasien dengan stable angina sebaiknya dipertimbangkan untuk rehabilitasi jantung komprehensif jika mereka punya gejala yang terbatas.
D. Gagal jantung kronik/chronic hearth failure
Pengulangan kembali secara sistematis latihan berdasar rehabilitasi jantung pada angina stabil, gagal jantung kronis telah memberi keuntungan pada kapasitas latihan dan kemungkinan pada gejala. Keuntunganya kemungkinan berasal dari adaptasi perifer (vasodilatasi dan peningkatan kapasitas oksidasi otot) lebih kepada perbaikan fungsi ventrikel. Suatu RCT pada latihan gagal jantung dilaporkan memperbaiki kapasitas latihan, perfusi otot jantung, kualitas hidup, total kematian dan penerimaan rumah sakit. Suatu tinjauan di Eropa yang melibatkan 134 pasien disimpulkan bahwa latihan memperbaiki kapasitas latihan dan indikasi otomatis ( seperti variasi kecepatan detak jantung) bahwa latihan tersebut dapat dikerjakan baik di rumah sakit atau di rumah, hasil 16 minggu lebih baik daripada 6 minggu dan hal itu merupakan kombinaasi siklus ergonometri dan senam lebih baik daripada siklus ergonometry sendiri. Perempuan juga sama halnya dengan laki-laki, dan pasien yang lebih tua mampu berlatih bebas dari komplikasi dan dengan keuntungan dari gejala meskipun dengan efektifitas kecil pada pasien lebih muda.
Pada pengulangan kembali secara sistematis manajemen penyakit secara komprehensif, mendapatkan lebih sedikit perawatan rumah sakit dan peningkatan kualitas hidup, kapasitas fungsional, kepuasan pasien dan pelaksanaan dengan diet dan medikasi. Penelitian yang diulangi kecil dengan peserta diseleksi (yang cenderung sampai tua) dan intervensi termasuk pendidikan, dukungan sosial, perawat yang menindaklanjuti di rumah, latihan berjenjang, dan kadang-kadang masukan dari psikolog dan ahli obat. Pada penelitian terbaru di Skotlandia, perawat yang khusus merawat pasien dengan gaagl jantung dengan mengunjungi rumah, dan berhubungan lewat telepon. Intervensi dilakukan pada pendidikan, pengawasan penyakit, dukungan psikologis, menurunkan resiko dari pemondokan kembali rumah sakit untuk gagal jantung lebih dari setengahnya.
Terdapat bukti yang sedikit terhadap perlakuan hanya efek psikologis dan edukasi pada gagal jantung. Salah satu penelitian pre-post terhadap 50 pasien dilaporkan menurunkan pemondokan kembali di rumah sakit. Pada penelitian terbaru, pendidikan di rumah sakit dengan sebuah kunjungan rumah, telah ditemukan meningkatkan perawatan diri pasien, tetapi tidak mempunyai dampak terhadap pemondokan di rumah sakit.
Pasien dengan gagal jantung kronis, sebaiknya dipertimbangkan untuk rehabilitasi jantung komprehensif.
E. Pasien Lanjut Usia
Meskipun banyak pasien dengan penyakit koroner lebih tua dari 75 tahun, kelompok ini tidak diikutsertakan pada banyak penelitian rehabilitasi jantung. Mengulang kembali dengan sistematis mengindikasikan bahwa pasien lebih tua mendapat keuntungan serupa dengan pasien muda dari latihan berdasar rehabilitasi jantung. Penelitian acak terbaru tentang hanya latihan rehabilitasi jantung pada 101 pasien lebih tua, dengan penyakit jantung koroner, dilaporkan tidak hanya meningkatkan toleransi latihan namun juga meningkatkan aktivitas fisik, kualitas hidup dan kesehatan.
Salah satu penelitian acak terkontrol membandingkan dengan primer perawatan dasar rehabilitasi jantung komprehensif (konsultasi dan latihan) dengan perawatan biasa. Pengambilan dari komponen latihan adalah rendah (20%). Walaupun seperti ini, terdapat lebih sedikit pemondokkan kembali rumah sakit dan kunjungan ke unit gawat darurat pada kelompok yang di intervensi. Penemuan ini sejalan dengan pengulangan kembali secara sistematis manajemen penyakit pada pasien dengan gagal jantung, kebanyaakan mereka adalah lebih tua.
Orang yang lebih tua sebaiknya ikut serta dalam program rehabilitasi jantung komprehensif.
F. Pasien wanita
Wanita tidak banyak diikutsertakan pada awal penelitian rehabilitasi jantung, terhitung sekitar hanya 4% dan 11% pasien didaftarkan dalam latihan saja dan penelitian rehabilitasi jantung komprehensif.
Pengulangan kembali secara sistematis menunjukkan bahwa wanita mendapat manfaat dari latihan berdasar rehabilitasi jantung dalam hal kapasitas fungsional sedikitnya sebanyak laki-laki. Tinjauan terhadap 134 pasien dengan gagal jantung dalam tahap pelatihan ditemukan bahwa manfaat pada wanita sedikitnya sebanyak laki-laki dalam hal peningkatan kapasitas latihan dan peningkatan autonomic indices.
Kebanyakan perempuan telah masuk kriteria dalam hal penelitian psikologis dan intervensi pendidikan. Pada penelitian terbaru, lebih dari 34% pasien pada beberapa penelitian adalah perempuan, dengan keyakinan bahwa manfaat pada perempuan sama banyaknya dengan pada laki-laki. Pengulangan kembali secara sistematis yang lain dilaporkan pada 12 program komprehensif ditujukan pada perubahan gaya hidup(kebanyakan berdasar pendidikan meskipun beberapa intervensi psikologis dan program latihan) yang termasuk perempuan. Pada kebanyakan penelitian memberi manfaat sama dengan laki-laki.
Wanita sebaiknya diikutsertakan program rehabilitasi jantung komprehensif.
G. Kelompok lain
1. Pasien transplantasi jantung
Beberapa penelitian telah memeriksa efek dari rehabilitasi jantung pada pasien setelah transplantasi jantung. Suatu RCT kecil dibandingkan dengan enam bulan latihan berdasar program rehabilitasi jantung dengan perawatan biasa. Terdapat peningkatan dalam kapasitas latihan dari kelompok yang terlatih. Suatu seri dari penelitian lima observasi kecil juga menyarankan bahwa latihan berdasar rehabilitasi jantung meningkatkan toleransi latihan pasien tersebut.


2. Pasien operasi katup
Terdapat sejumlah kecil bukti manfaat dari rehabilitasi jantung setelah operasi katup. Suatu penelitian kecil non random melaporkan bahwa tidak ada perbedaan pada toleransi latihan diantara kedua kelompok (juga tidak dilaporkan tingkat aktivitas fisik)

3. Pasien dengan penyakit jantung kongenital
Dalam suatu penelitian non random terkontrol di Norwegia, anak-anak dengan penyakit jantung kongenital yang telah diawasi dengan tanggung jawab latihannya tampak mendapat beberapa peningkatan dalam kapasitas latihan dan fungsi psikologis dibanding dengan kelompok kontrol. Penelitian yang melibatkan anak-anak Cina (ditinjau ulang secara abstrak) dengan penyakit jantung kongenital telah menemukan bahwa kebiasaan dan latihan meningkatkan perawatan diri, pelaksanaan dan penurunan lama tinggal di rumah sakit.

4. implantable cardioverter defibrillators
Pasien dengan implantable cardioverter defibrillators (ICDs) mempunyai tingkat distress psikologi yang tinggi dan berlanjut menjadi berisiko mati jantung mendadak. Kemungkinan ada manfaatnya dengan rehabilitasi jantung komprehensif tetapi masih dibutuhkan penelitian dalam hal ini.







BAB V
FOLLOW UP JANGKA PANJANG

Untuk jangka waktu lama, sebagian besar pasien dengan penyakit jantung menerima sebagian besar atau bahkan keseluruhan terapi dari primary care dan masyarakat. Ketika proses penyembuhan selesai, penekanan dari rehabilitasi jantung berubah menjadi tujuan jangka panjang untuk menjaga aktifitas fisik dan perubahan gaya hidup dengan terapi sekunder obat profilaksis yang tepat. Batasan antara rehabilitasi jantung, pencegahan sekunder, dan primary care dengan obat masih belum jelas. Tujuan akhir dari semua itu adalah perawatan jantung yang komprehensif.
Beberapa pasien dapat sembuh, tapi yang lain tetap mempunyai gangguan dalam kesehatannya. Orang dengan penyakit jantung koroner kadang harus mondok di rumah sakit, dan mempunyai resiko tinggi untuk terjadi infark dan reinfark. Gaya hidup sehat dapat mengurangi resiko kejadian koroner, namun hal tersebut sulit untuk dicapai dan dijaga. Terapi obat efektif, tapi uptake dan pemenuhannya biasanya tidak bisa optimal. Disarankan untuk mengubah gaya hidup dan pengobatan sekunder dengan obat yang berdasarkan panduan SIGN. Penelitian terbaru tentang terapi profilaksis jantung memperlihatkan meluasnya penggunaan terapi statin untuk semua pasien dengan penyakit koroner tanpa melihat kadar kolesterol serum pasien.
Tabel Modifikasi gaya hidup dan terapi obat pada prevensi sekunder penyakit jantung koroner
Terapi obat Aspirin (75 mg/hari) atau Klopidogrel (75 mg/hari)
Statin (jika kolesterol total > 5 mmol/L)
Β-Bloker
ACE Inhibitor
Hipertensi Penurunan tekanan darah (jika tekanan darah > 140/90 mmHg
Merokok Beri saran untuk menghilangkan kebiasaan merokok
Terapi penggantian nikotin
Diet Tingkatkan asupan buah dan sayur (5 porsi sehari)
Tingkatkan asupan asam lemak omega 3 (minyak ikan)
Ganti asam lemak jenuh dengan asam lemak tidak jenuh (minyak zaitun)
Penurunan berat badan jika obesitas (BMI > 30 kg/m2
Latihan Secara teratur dengan intensitas ringan sampai sedang (3-5 kali per minggu)
Diabetes Optimalkan gula darah dan tekanan darah

1. Peralihan perawatan ke primary care
Ketika pasien telah dirawat di rumah sakit, perawatan berubah dari secondary care menjadi primary care. Hal itu perlu fleksibel sesuai kebutuhan pasien sebagai individu. Banyak dari aspek perawatan yang hilang selama proses peralihan tersebut, dan banyak bukti yang menunjukkannya. Ada sedikit bukti tentang bagaimana peralihan tersebut menjadi meningkat. Komunikasi yang baik menjadi langkah pertama. Kadang, informasi khusus harus disediakan dengan detail tentang terapi dan rehabilitasi jantung terbaru, saat monitoring, dan rencana terapi masa datang
2. Follow Up pada primary care
Hasil dari 12 prevensi sekunder pada penyakit jantung koroner secara trial random menunjukkan bahwa program terstruktur dari manajemen penyakit meningkatkan factor resiko dan meningkatkan pencegahan sekunder. Terjadi penurunan rawat inap dan meningkatkan kualitas hidup. Program yang termasuk multifaktorial dengan setengahnya adalah terapi medis dan perubahan gaya hidup.
Pada penelitian pertama di Belfast, petugas kesehatan dilatih untuk member pendidikan kesehatan tentang diet, latihan, dan merokok, bagaimana memeriksa tekanan darah. Setelah 2 tahun dilaporkan terjadi perubahan signifikan pada aktifitas fisik dan diet pada kelompok, tapi tidak ada perubahan pada merokok, tekanan darah, dan kadar lipid. Penurunan terjadinya angina dan nilai lebih bagus untuk mobilitas fisik berdasar skor Nottingham. Total mortalitas juga menurun. Akan tetapi setelah 3 tahun penghentian intervensi, semua manfaat yang ada menjadi hilang.
Pada penelitian kedua di Grampian, dengan prevensi sekunder. Pada tahun pertama, pasien yang menggunakan aspirin mempunyai tekanan darah dan kadar lipid yang lebih baik, aktifitas fisik sedang, dan lemak lemak yang rendah, tapi tidak ada perbedaan dalam merokok. Terapi klinis meningkatkan kualitas hidup pasien, terutama aspek fisik dan fungsional, dan lebih sedikit pasien yang perlu perawatan di rumah sakit
Pada penelitian ketiga, tentang perawatan klinik. Pada tiga kelompok, prevensi sekunder yang paling baik ditemukan pada kelompok yang menggunakan aspirin.
3. Pelayanan kesehatan rawat jalan
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pasien dengan komplikasi jantung mendapat manfaat dari rawat jalan. Manajemen klinik secara komprehensif pada pasien gagal jantung telah meningkatkan kualitas hidup, kapasitas fungsional, kenyamanan pasien dan pemenuhan obat, dan mengurangi rawat inap. Pengobatan ini dilakukan oleh ahli yang berpengalaman. Ada bukti yang menunjukkan bahwa tujuan terapi tidak akan tercapai tanpa follow up spesialis pada primary care.
Ada beberapa manfaat dari pasien angina yang dirawat secara intensif dan spesialistik di rumah sakit. Gejala akan berkurang. Program rawat jalan untuk pasien koroner telah mengurangi factor resiko, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi masa inap di rumah sakit.
4. Self Help Groups
Di skotlandia ada 19 Self Help Groups pada tahun 1994, terdapat pada pusat olahraga, sekolah dan universitas, rumah sakit, dan gereja, yang menyediakan perawatan penyakit jantung.
Pada tahun 2001, ada sekitar 30 grup jantung di skotlandia. Program tiap grup bervariasi termasuk latihan, relaksasi, ceramah, dan diskusi. Latihan dilakukan dengan bantuan fisioterapi, perawat, pelatih senam, tapi tidak ada yang dilengkapi dengan defibrillator.
Tidak ada bukti yang menunjukkan keefektifan dari Self Help Groups pada rehabilitasi jantung. Aspek penting dari Self Help Groups adalah interaksi antar orang dan kesempatan untuk bertukar pengalaman. Beberapa pasien menganggap sebagai kesempatan berharga, tapi beberapa yang lain tidak. Bukti tidak langsung dari program ini adalah adanya peningkatan fungsi psikososial yang ditemukan pada beberapa penelitian.
5. Program latihan jangka panjang
Latihan akan berarti bermakana pada rehabilitasi jantung jika dilakukan selama 12 bminggu atau lebih. Jika manfaat suda ada, latihan diteruskan untuk jangka panjang, tapi hal ini akan sulit dilakukan, terutama jika tanpa adanya supervisor. Beberapa orang mungkin memikirkan program latihan mereka, atau kembali ke olahraga mereka, bergabung dengan self help group, atau pusat olahraga, atau dengan home exercise.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pilihan yang satu lebih baik dari yang lain, jadi pilihan tentang program akan ditentukan oleh pasien sendiri. Pasien dengan penyakit koroner yang stabil, akan ditingkatkan dengan latihan aerobic sedang secara regular
Menurut The British Association for Cardiac Rehabilitation pasien yang akan melakukan program latihan jangka panjang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Kondisi kinis stabil
b. Mengerti gejala penyakit mereka (jika mendapat angina, mengerti bagaimana menggunakan sublingual nitrat)
c. Dapat mengatur latihan mereka sendiri
d. Dapat mencapai kapasitas latihan lebih dari 5 METS
Untuk dokter yang merawat, harus dapat memberikan informasi :
a. Tentang serangan jantung dan kondisi medis yang terkait
b. Progresifitas dari penyakit tersebut termasuk komplikasinya
c. latihan fase 3 dan penilaian kapasitas fungsional
d. Hasil tes toleransi jika tersedia
e. Penjelasan tentang pengobatan pada pasien
a. Instruktur kesehatan pada program pemeliharaan harus terdaftar dengan kualifikasi khusus
b. Jika lebih dari 5 tahun setelah penilaian, jika gejala muncul lagi, atau jika pasien memulai program latihan jangka panjang tanpa menyelesaikan latihan fase 3, disarankan penilaian faktor resiko klinis dan tes kapasitas fungsional dengan atau tanpa latihan.



BAB VI
KESIMPULAN

Rehabilitasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Perlu kerjasama dari keluarga dan teman pasien. Beberapa hal yang harus diinformasikan adalah sebagai berikut:
1. Pasien diberikan informasi mengenai kerja dasar dari jantung, angina dan infark jantung, serta faktor resiko gagal jantung.
2. Diskusi untuk modifikasi faktor resiko, misalnya merokok (tidak merokok dapat menurunkan 50% mortalitas karena infark miokard selama 5 tahun ke depan), bersama dengan program edukasi seperti diet, manajemen stress, dan terapi dengan obat.
3. Yakinkan pasien bahwa rehabilitasi jantung akan mempercepat kesembuhan pasien dengan penyakit jantung untuk sembuh dan kembali produktif, juga bahwa rehabilitasi jantung itu aman.
4. Hampir semua pasien dengan penyakit jantung mendapat manfaat dari rehabilitasi jantung. Tidak muda atau tua, wanita atau laki-laki.
5. Keberhasilan program rehabilitasi jangka panjang berhubungan langsung dengan pasien. Pihak yang paling penting dalam program ini adalah pasien.
Aspek psikologis rehabilitasi jantung yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Pasien diingatkan mungkin mereka menjadi depresi atau mengalami gejala kecemasan akut selama beberapa hari atau minggu setelah mengalami infark dan hal tersebut wajar, namun tidak boleh putus semangat dan berlarut-larut.
2. Jika pasien tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan ketika sampai dengan pulang ke rumah, mereka harus berusaha melihat ini bukan sebagai suatu kemunduran, melainkan harus dievaluasi untuk tindak lanjut seterusnya.
3. Jelaskan kepada keluarga pasien bahwa kondisi kejiwaan yang tidak stabil mungkin terjadi setelah pasien pulang ke rumah. Pasien menjadi pemarah dan susah berkomunikasi dengan sekitar.
4. Beberapa minggu dan bulan setelah infark, keluarga dan teman pasien harus terlibat dalam program rehabilitasi jantung dan memberi semangat untuknya
5. Diskusi tentang konsulan perawatan, supervise jantung secara manual, primary care, secondary care, self-help groups.
6. Hubungan dengan petugas kesehatan harus terus berlanjut
Penyusunan program latihan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Diskusi tentang tujuan latihan, resiko, dan manfaatnya. Misalnya latihan tidak harus berat dan lama, langkah ringan 15-20 menit setiap hari atau 5 kali seminggu sudah cukup untuk pasien pasca infark.
2. Pasien harus memilih untuk latihan di rumah atau di rumah sakit atau bahkan keduanya. Perlu diberitahukan jenis latihan dengan intensitas ringan sampai sedang yang aman dan efektif untuk pasien.
3. Jika manfaat telah dicapai, latihan tetap dilanjutkan untuk jangka panjang.

Sidrom Hepatorenal

BAB I. PENDAHULUAN


Dalam beberapa tahun terakhir ini telah diketahui bahwa sindrom hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati dengan ascites. Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gejala klinis dan bukti histologis yang diketahui sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut. (1)
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi tanpa disertai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal tersebut ditransplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal. (1)
Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan dalam terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alasan ini SHR merupakan kumpulan patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungannya antara sirkulasi sistemik dan fungsi ginjal serta pengaruh faktor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi ginjal. (2)
SHR dilaporkan pertama kali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang masing-masing melaporkan timbulnya oligouria pada pasien-pasien sirosis dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang nyata pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal “fungtional renal failure”. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindrom ini merupakan keadaan terminal dan irreversibel pada sirosis dengan asites.(2) Pada tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan ekskresi natrium yang rendah.
SHR terjadi pada sekitar 4%-10% pasien rawat inap dengan sirosis dekompensata. Studi retrospektif menunjukkan SHR terjadi pada hampir 17% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan asites dan lebih dari 50% pasien sirosis meninggal oleh karena gagal hati.(1) Penyebab tersering gagal ginjal pada pasien sirosis adalah peritonitis bakterial spontan (SBP). Sekitar 90% pasien SBP berkembang ke arah gagal ginjal. Hepatitis alkoholik berat dapat berakhir dengan komplikasi SHR. Progresi ke arah SHR pada pasien sirosis hepatis mungkin diinduksi oleh adanya komplikasi atau intervensi terapetik yang diberikan, akan tetapi pada separuh pasien tidak terdentifikasi adanya faktor presipitasi.(1)
SHR merupakan penyakit komplikasi dari sirosis yang perlu terapi tersendiri untuk mencegah gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal akan memperburuk prognosis dari penyakit sirosis. SHR sendiri merupakan kasus yang jarang.
.
























BAB II. SINDROM HEPATORENAL


A. Definisi
Defenisi sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994) adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol yang luas yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi. Walaupun terjadi hipoperfusi ginjal, tetapi terapi dengan hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki fungsi ginjal ini. (1)
Meskipun sindrom hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan sirosis lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau penyakit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut. (10)
Faktor predisposisi terjadinya SHR yang terpenting adalah adanya komplikasi SBP dan usia tua. Translokasi bakteri dari intestinal mungkin sangat penting dalam memperburuk endotoksinemia dan barangkali mempunyai efek langsung terhadap ginjal pada pasien sirosis, melalui perantaraan tumor necrosis factor dan interleukin, seperti dilaporkan pada pasien sirosis dengan komplikasi infeksi. Faktor predisposisi lainnya termasuk parasintesis yang berlebihan, terapi antibiotik berlebihan dan berkepanjangan, perdarahan gastrointestinal, atau penyebab lainnya yang berhubungan dengan penururnan volume plasma seperti diare menetap, restriksi cairan berlebihan. Di samping itu pemberian NSAIDs meskipun dosis kecil, mungkin menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis dekompensata. (1)
Pada pasien sirosis dan SBP, terapi dengan albumin intravena dan antibiotic mengurangi insidensi gangguan faal ginjal dan mortalitas jika dibandingkan dengan terapi antibiotika saja
B. Patofisiologi
Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang reversibel dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata pada penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru adalah ultrasonografi Doppler. Pada pemakaian beberapa teknik ini didapatkan beberapa perubahan dalam perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis dengan ascites, dan SHR adalah akhir dari spektrum ini. (12)
Penyebab utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak factor, antara lain perubahan sistem hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal.(11)
Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari berkurangnya pengisian sirkulasi arteri yang disebabkan oleh adanya vasodilasi pembuluh darah splangnik. Pengurangan pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor dan selanjutnya akan mengaktifkan vasokonstriktor (seperti rennin angiotensin dan sistem saraf simpatis). (10)
Faktor-faktor vasoaktif yang secara potensial berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal pada pendeerita sindrom hepatorenal (9):
1. Vasokonstriktor
2. Angiotensin II
3. Norepineprin
4. Neuropeptida Y
5. Endotelin
6. Adenosin
7. Sisteinil leukotrien
8. F2-isoprostan
9. Vasodilator : Prostaglandin, nitrit oksida, natriuretik peptide, sistem kallikrein – kinin
10. Faktor Vasokonstriktor
Sistem rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatik merupakan beberapa sistem utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal yang berperan sebagai mediator utama vasokonstriksi ginjal pada sindrom hepatorenal. Aktifitas dari sistem vasokonstriksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan asites, terutama penderita dengan sindrom hepatorenal dan berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretik atau vasopressin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi non osmolar, walaupun sering timbul hiponatremia. Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endotelin adalah substansi vasokonstriktor lain dalam plasma yang meningkat pada SHR, kemungkinan karena penambahan produksi peptida dalam hati atau dalam sirkulasi splangnik yang berhubungan dengan vasokonstriksi ginjal. Namun hal ini masih kontroversi. (1)
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut :
a. Hati
- Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
- Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin, dan vasopressin
b. Plasma
- Peningkatan kadar rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin noradrenalin, vasopressin, endotelin, 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida, dan hormon antidiuretik
- Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial
c. Urin atau ginjal
- Peningkatan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, lekotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.
Soper dkk melaporkan pada tiga penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor endotelin–A. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya peningkatan produksi sisteinil leukotrien yang berperan sebagai vasokonstriktor ginjal yang kuat pada penderita SHR.
Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostan dapat juga berperan sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesis vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Baru-baru ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten pada SHR yang timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan perdebatan(12).
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor(11).
Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional. Selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin. CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor ginjal yang berlebih(8).
Sistem saraf simpatis
Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatkan retensi natrium. Hal ini telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti yang membuktikan adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splangnik. Kostreva dkk mengamati terjadinya vasokonstriksi arteiol afferen ginjalyang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.


C. Patogenesis
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang timbul pada penderita SHR. Teori pertama menjelaskan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa adanya patogenesis yang berhubungan dengan gangguan sistem hemodinamik. Teori ini berdasarkan hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal. Pada percobaan dengan binatang diperlihatkan bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. (3)
Teori kedua menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan patogenesis dalam sistem hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari berkurangnya pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa berkurangnya pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang terjadi bukan sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar biasa yang terjadi terutama pada sirkulasi splangnik. Hal ini dapat menyebabkan aktifasi yang progresif dari mediator baroreseptor sistem vasokonstriktor yang dapat menimbulkan vasokonstriksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetapi juga pada pembuluh darah yang lain. (4)
Splangnik dapat bebas dari efek vasokonstriktor dan vasodilator dapat bertahan, kemungkinan karena adanya rangsangan vasodilator lokal yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal dari vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh vasodilator, yang terjadi karena penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi vasokonstriktor ginjal atau keduanya. (5)
D. Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema, dan hiponatremi dilusional, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan berkemih (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik Gambaran klinis uremia jarang dijumpai, begitu juga pada analisis urin didapatkan keadaan normal. (6)
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :
1. Sindrom Hepatorenal tipe I
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum dimana nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif dari jumlah urin,
Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindrom hepatorenal (7):
1. Cardiac output meninggi
2. Tekanan arterial menurun
3. Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
4. Total volume darah meninggi
5. Aktifasi sistem vasokonstriktor meninggi
6. Tekanan portal meninggi
7. Portosystemic shunting
8. Tekanan pembuluh darah splangnik menurun
9. Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
10. Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
11. Tahanan pembuluh darah otak meninggi
12. Retensi natrium dan hiponatremi .
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati, atau koagulopati. Tipe ini umum terjadi pada sirosis alkoholik yang berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui. Kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, dan parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. (7)
SHR tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu. Lamanya harapan hidup pada penderita SHR tipe I ini lebih buruk dibanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.
2. Sindroma Hepatorenal tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR ini biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati yang relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I. (7)
E. Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnosis SHR. Kriteria diagnosis yang dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. (8)
Kriteria mayor diagnosis SHR berdasarkan International Ascites Club (8):
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan. dan
4. mendapat obat nefrotoksik.
5. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
6. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruksi uropati atau penyakit parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan (9):
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis SHR, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis SHR. Beberapa faktor predisposisi untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites adalah (9):
1. Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum
2. Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan
3. Ekskresi natrium urin yang rendah
4. Hipotensi arterial
5. Aktifitas plasma rennin meninggi
6. Kadar norepinefrin plasma tinggi
7. Refrakter ascites
8. Tidak ada hepatomegali
9. Peningkatan vascular resistive index ginjal
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out) pseudohepatorenal syndrome. Pseudohepatorenal sindrom adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain.
Beberapa penyebab psudohepatorenal sindrom adalah :
a. Penyakit kongenital (misal penyakit polikistik ginjal dan hati)
b. Penyakit metabolik (diabetes melitus, amiloidosis, penyakit Wilson)
c. Penyakit sistemik (SLE, arthritis rematoid, sarkoidosis)
d. Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus, dan lain-lain)
e. Gangguan sirkulasi (syok, insufisisensi jantung)
f. Intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar, dan lain-lain)
g. Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin, iproniazid)
h. Tumor (hipernefroma, metastasis)
i. Eksperimenta (defisisensi kolin, dan lain-lain)
F. Penatalaksanaan
Dengan mengetahui beberapa faktor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites, maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotic untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa modalitas terapiyang digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit atau tidak ada sama sekali(10).
1. Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR(10).
2. Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotension II, dan ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan pada penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang singkat hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah ginjal meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi ginjal atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin dan norepineprin) dan vasodilator ginjal (dopamin dan prostasiklin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal. Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik. Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati 16(10).
3. Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secara sporadis pada masa lalu untuk penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR(1).
4. Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi standar dalam penatalaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nen bedah untuk kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis(11).
5. Dialisis
Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati(9).
6. Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan(8).
G. Pencegahan
Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara berhati-hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari. Resiko perburukan ginjal setelah parasintesis volume besar dikurangi dengan pemberian lbumin rendah garam.
Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi dengan pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi antibiotika, pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi ginjal. Pencegahan infeksi bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir 50% pasien dengan perdarahan varises dan antibiotika profilaksis memperbaiki survival sekitar 10%. Ekspansi volume : untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan pemberian ekspansi volume plasma dengan lbumin 20% (1-1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi sirkulasi, gangguan ginjal, dan mortalitas. Pemakaian diuretic dengan bijaksana : mengidentifikasi dosis efektif terendah diuretik untuk setiap individu pasien adalah sangat penting karena gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada sekitar 20% pasien asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular. Menghindari pemakaian obat nefrotoksik : pasien dengan sirosis dan asites merupakan predisposisi mendapat aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi sekitar 33%. Penyebab penting lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs. Obat ini menghambat pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan penurunan nyata fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan asites.























BAB III. KESIMPULAN

1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati lanjut yang ditandai tidak hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas system vasoaktif endogen.
2. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tapi diduga karena pengurangan pengisian sirkulasi arteriol sekunder karena vasodilatasi sirkulasi arteriol di splangnik, serta gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator.
3. Diangnosis SHR berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome.
4. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati
5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.



















DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2006. 420 – 423
2. Harison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume IV. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 2000. 1633 – 1638
3. Patofisiologi volume 1 edisi 6, Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, EGC Jakarta 2006. gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas, hal. 477, 502-503, 507
4. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Liver Transplantation
5. Sri Maryani S., 2003. Sindrom Hepatorenal. http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani6.pdf
6. Charles KF Ng, Michael HM Chan, Morris HL Tai, and Christopher WK Lam. 2007. Hepatorenal Syndrom. http://www.pubmedcentral.nih.gov/fprender.fcgi
7. Feldman - Sleisenger & Fordtran, 2003. Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed.
8. Scott L. Friedmann, 2002. Current Gastroenterology 2ed
9. Azhari Ghani, 2006. Sindrom Hepatorenal. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/ 07_150_Sindromaheaptorenal.pdf/07_150_Sindromaheaptorenal.html.
10. Ali Sulaiman, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jayabadi: Jakarta. Hal:389-398
11. Klaus-D. Döhler, 2002. Treatment of hepatorenal syndrome with T ERLIPRESSIN. http:// www.curatis-pharma.de/D%F6hler,%20Hepatorenal%20Syndrome%202002.pdf