BAB I. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir ini telah diketahui bahwa sindrom hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati dengan ascites. Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gejala klinis dan bukti histologis yang diketahui sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut. (1)
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi tanpa disertai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal tersebut ditransplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal. (1)
Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan dalam terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alasan ini SHR merupakan kumpulan patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungannya antara sirkulasi sistemik dan fungsi ginjal serta pengaruh faktor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi ginjal. (2)
SHR dilaporkan pertama kali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang masing-masing melaporkan timbulnya oligouria pada pasien-pasien sirosis dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang nyata pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal “fungtional renal failure”. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindrom ini merupakan keadaan terminal dan irreversibel pada sirosis dengan asites.(2) Pada tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan ekskresi natrium yang rendah.
SHR terjadi pada sekitar 4%-10% pasien rawat inap dengan sirosis dekompensata. Studi retrospektif menunjukkan SHR terjadi pada hampir 17% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan asites dan lebih dari 50% pasien sirosis meninggal oleh karena gagal hati.(1) Penyebab tersering gagal ginjal pada pasien sirosis adalah peritonitis bakterial spontan (SBP). Sekitar 90% pasien SBP berkembang ke arah gagal ginjal. Hepatitis alkoholik berat dapat berakhir dengan komplikasi SHR. Progresi ke arah SHR pada pasien sirosis hepatis mungkin diinduksi oleh adanya komplikasi atau intervensi terapetik yang diberikan, akan tetapi pada separuh pasien tidak terdentifikasi adanya faktor presipitasi.(1)
SHR merupakan penyakit komplikasi dari sirosis yang perlu terapi tersendiri untuk mencegah gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal akan memperburuk prognosis dari penyakit sirosis. SHR sendiri merupakan kasus yang jarang.
.
BAB II. SINDROM HEPATORENAL
A. Definisi
Defenisi sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994) adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol yang luas yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi. Walaupun terjadi hipoperfusi ginjal, tetapi terapi dengan hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki fungsi ginjal ini. (1)
Meskipun sindrom hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan sirosis lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau penyakit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut. (10)
Faktor predisposisi terjadinya SHR yang terpenting adalah adanya komplikasi SBP dan usia tua. Translokasi bakteri dari intestinal mungkin sangat penting dalam memperburuk endotoksinemia dan barangkali mempunyai efek langsung terhadap ginjal pada pasien sirosis, melalui perantaraan tumor necrosis factor dan interleukin, seperti dilaporkan pada pasien sirosis dengan komplikasi infeksi. Faktor predisposisi lainnya termasuk parasintesis yang berlebihan, terapi antibiotik berlebihan dan berkepanjangan, perdarahan gastrointestinal, atau penyebab lainnya yang berhubungan dengan penururnan volume plasma seperti diare menetap, restriksi cairan berlebihan. Di samping itu pemberian NSAIDs meskipun dosis kecil, mungkin menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis dekompensata. (1)
Pada pasien sirosis dan SBP, terapi dengan albumin intravena dan antibiotic mengurangi insidensi gangguan faal ginjal dan mortalitas jika dibandingkan dengan terapi antibiotika saja
B. Patofisiologi
Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang reversibel dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata pada penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru adalah ultrasonografi Doppler. Pada pemakaian beberapa teknik ini didapatkan beberapa perubahan dalam perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis dengan ascites, dan SHR adalah akhir dari spektrum ini. (12)
Penyebab utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak factor, antara lain perubahan sistem hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal.(11)
Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari berkurangnya pengisian sirkulasi arteri yang disebabkan oleh adanya vasodilasi pembuluh darah splangnik. Pengurangan pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor dan selanjutnya akan mengaktifkan vasokonstriktor (seperti rennin angiotensin dan sistem saraf simpatis). (10)
Faktor-faktor vasoaktif yang secara potensial berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal pada pendeerita sindrom hepatorenal (9):
1. Vasokonstriktor
2. Angiotensin II
3. Norepineprin
4. Neuropeptida Y
5. Endotelin
6. Adenosin
7. Sisteinil leukotrien
8. F2-isoprostan
9. Vasodilator : Prostaglandin, nitrit oksida, natriuretik peptide, sistem kallikrein – kinin
10. Faktor Vasokonstriktor
Sistem rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatik merupakan beberapa sistem utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal yang berperan sebagai mediator utama vasokonstriksi ginjal pada sindrom hepatorenal. Aktifitas dari sistem vasokonstriksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan asites, terutama penderita dengan sindrom hepatorenal dan berkolerasi terbalik dengan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretik atau vasopressin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi non osmolar, walaupun sering timbul hiponatremia. Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endotelin adalah substansi vasokonstriktor lain dalam plasma yang meningkat pada SHR, kemungkinan karena penambahan produksi peptida dalam hati atau dalam sirkulasi splangnik yang berhubungan dengan vasokonstriksi ginjal. Namun hal ini masih kontroversi. (1)
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut :
a. Hati
- Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
- Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin, dan vasopressin
b. Plasma
- Peningkatan kadar rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin noradrenalin, vasopressin, endotelin, 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida, dan hormon antidiuretik
- Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial
c. Urin atau ginjal
- Peningkatan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, lekotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.
Soper dkk melaporkan pada tiga penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor endotelin–A. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya peningkatan produksi sisteinil leukotrien yang berperan sebagai vasokonstriktor ginjal yang kuat pada penderita SHR.
Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostan dapat juga berperan sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesis vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Baru-baru ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten pada SHR yang timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan perdebatan(12).
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor(11).
Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional. Selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin. CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor ginjal yang berlebih(8).
Sistem saraf simpatis
Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatkan retensi natrium. Hal ini telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti yang membuktikan adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splangnik. Kostreva dkk mengamati terjadinya vasokonstriksi arteiol afferen ginjalyang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.
C. Patogenesis
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang timbul pada penderita SHR. Teori pertama menjelaskan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa adanya patogenesis yang berhubungan dengan gangguan sistem hemodinamik. Teori ini berdasarkan hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal. Pada percobaan dengan binatang diperlihatkan bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. (3)
Teori kedua menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan patogenesis dalam sistem hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari berkurangnya pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa berkurangnya pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang terjadi bukan sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar biasa yang terjadi terutama pada sirkulasi splangnik. Hal ini dapat menyebabkan aktifasi yang progresif dari mediator baroreseptor sistem vasokonstriktor yang dapat menimbulkan vasokonstriksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetapi juga pada pembuluh darah yang lain. (4)
Splangnik dapat bebas dari efek vasokonstriktor dan vasodilator dapat bertahan, kemungkinan karena adanya rangsangan vasodilator lokal yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal dari vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh vasodilator, yang terjadi karena penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi vasokonstriktor ginjal atau keduanya. (5)
D. Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema, dan hiponatremi dilusional, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan berkemih (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik Gambaran klinis uremia jarang dijumpai, begitu juga pada analisis urin didapatkan keadaan normal. (6)
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :
1. Sindrom Hepatorenal tipe I
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum dimana nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif dari jumlah urin,
Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindrom hepatorenal (7):
1. Cardiac output meninggi
2. Tekanan arterial menurun
3. Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
4. Total volume darah meninggi
5. Aktifasi sistem vasokonstriktor meninggi
6. Tekanan portal meninggi
7. Portosystemic shunting
8. Tekanan pembuluh darah splangnik menurun
9. Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
10. Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
11. Tahanan pembuluh darah otak meninggi
12. Retensi natrium dan hiponatremi .
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati, atau koagulopati. Tipe ini umum terjadi pada sirosis alkoholik yang berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui. Kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, dan parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. (7)
SHR tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua minggu. Lamanya harapan hidup pada penderita SHR tipe I ini lebih buruk dibanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.
2. Sindroma Hepatorenal tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR ini biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati yang relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I. (7)
E. Diagnosis
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnosis SHR. Kriteria diagnosis yang dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. (8)
Kriteria mayor diagnosis SHR berdasarkan International Ascites Club (8):
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40 ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan. dan
4. mendapat obat nefrotoksik.
5. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
6. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruksi uropati atau penyakit parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan (9):
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis SHR, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis SHR. Beberapa faktor predisposisi untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites adalah (9):
1. Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum
2. Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan
3. Ekskresi natrium urin yang rendah
4. Hipotensi arterial
5. Aktifitas plasma rennin meninggi
6. Kadar norepinefrin plasma tinggi
7. Refrakter ascites
8. Tidak ada hepatomegali
9. Peningkatan vascular resistive index ginjal
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out) pseudohepatorenal syndrome. Pseudohepatorenal sindrom adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain.
Beberapa penyebab psudohepatorenal sindrom adalah :
a. Penyakit kongenital (misal penyakit polikistik ginjal dan hati)
b. Penyakit metabolik (diabetes melitus, amiloidosis, penyakit Wilson)
c. Penyakit sistemik (SLE, arthritis rematoid, sarkoidosis)
d. Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus, dan lain-lain)
e. Gangguan sirkulasi (syok, insufisisensi jantung)
f. Intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar, dan lain-lain)
g. Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin, iproniazid)
h. Tumor (hipernefroma, metastasis)
i. Eksperimenta (defisisensi kolin, dan lain-lain)
F. Penatalaksanaan
Dengan mengetahui beberapa faktor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites, maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotic untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa modalitas terapiyang digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit atau tidak ada sama sekali(10).
1. Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR(10).
2. Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotension II, dan ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan pada penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang singkat hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah ginjal meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi ginjal atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin dan norepineprin) dan vasodilator ginjal (dopamin dan prostasiklin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal. Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik. Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati 16(10).
3. Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secara sporadis pada masa lalu untuk penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR(1).
4. Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi standar dalam penatalaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nen bedah untuk kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis(11).
5. Dialisis
Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati(9).
6. Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan(8).
G. Pencegahan
Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara berhati-hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari. Resiko perburukan ginjal setelah parasintesis volume besar dikurangi dengan pemberian lbumin rendah garam.
Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi dengan pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi antibiotika, pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi ginjal. Pencegahan infeksi bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir 50% pasien dengan perdarahan varises dan antibiotika profilaksis memperbaiki survival sekitar 10%. Ekspansi volume : untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan pemberian ekspansi volume plasma dengan lbumin 20% (1-1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi sirkulasi, gangguan ginjal, dan mortalitas. Pemakaian diuretic dengan bijaksana : mengidentifikasi dosis efektif terendah diuretik untuk setiap individu pasien adalah sangat penting karena gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada sekitar 20% pasien asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular. Menghindari pemakaian obat nefrotoksik : pasien dengan sirosis dan asites merupakan predisposisi mendapat aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi sekitar 33%. Penyebab penting lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs. Obat ini menghambat pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan penurunan nyata fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan asites.
BAB III. KESIMPULAN
1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati lanjut yang ditandai tidak hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas system vasoaktif endogen.
2. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tapi diduga karena pengurangan pengisian sirkulasi arteriol sekunder karena vasodilatasi sirkulasi arteriol di splangnik, serta gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator.
3. Diangnosis SHR berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome.
4. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati
5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2006. 420 – 423
2. Harison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume IV. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 2000. 1633 – 1638
3. Patofisiologi volume 1 edisi 6, Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, EGC Jakarta 2006. gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas, hal. 477, 502-503, 507
4. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Liver Transplantation
5. Sri Maryani S., 2003. Sindrom Hepatorenal. http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani6.pdf
6. Charles KF Ng, Michael HM Chan, Morris HL Tai, and Christopher WK Lam. 2007. Hepatorenal Syndrom. http://www.pubmedcentral.nih.gov/fprender.fcgi
7. Feldman - Sleisenger & Fordtran, 2003. Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed.
8. Scott L. Friedmann, 2002. Current Gastroenterology 2ed
9. Azhari Ghani, 2006. Sindrom Hepatorenal. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/ 07_150_Sindromaheaptorenal.pdf/07_150_Sindromaheaptorenal.html.
10. Ali Sulaiman, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jayabadi: Jakarta. Hal:389-398
11. Klaus-D. Döhler, 2002. Treatment of hepatorenal syndrome with T ERLIPRESSIN. http:// www.curatis-pharma.de/D%F6hler,%20Hepatorenal%20Syndrome%202002.pdf
Sidrom Hepatorenal
Nurhasan, Rabu, 05 November 2008
Label:
Ilmu Penyakit Dalam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar