ATRALGIA

Artralgia merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, yang sering membawa pasien ke dokter. Banyak penyakit yang menyebabkan keluhan ini, yang paling sering ditemui di klinik adalah osteoartritis, artritis gout dan artritis reumatoid.
OSTEOARTRITIS
Pendahuluan
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar.
Patogenesis
Akibat peningkatan enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen) terjadi kerusakan fokal tulang rawan sendi secara progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi serta tepi sendi (osteofit). Osteofit terbentuk sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian, sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif.
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro, serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder.


Faktor Resiko
Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Faktor resiko untuk timbulnya OA primer adalah seperti di bawah ini.
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun.
2. Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, sedangkan laki-laki lebih sering terkena OA paha, pergelengan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada wanita. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.
3. Suku Bangsa
OA paha lebih jarang pada orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering dijumpai pada orang Amerika asli (Indian) daripada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongental dan pertumbuhan.
4. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA. Misalnya pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak perempuannya mempunyai kecenderungan 3 kali lebih sering daripada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa OA tersebut.
5. Kegemukan dan Penyakit Metabolik
Berat badan berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko timbulnya OA baik pada wanita maupun laki-laki. Kegemukan tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga sendi lain. Oleh karena itu di samping peran faktor mekanis, diduga faktor metabolik juga berperan pada kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi.
6. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga
Pekerjaan berat, pemakaian satu sendi terus-menerus, cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko OA yang lebih tinggi. Beban benturan yang berulang dapat menjadi faktor penentu lokasi pada orang yang mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.
7. Kelainan Pertumbuhan
Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha berkaitan dengan timbulnya OA pada usia muda.
8. Faktor-faktor Lain
Tingginya kepadatan tulang berkaitan dengan meningkatnya resiko OA. Hal ini mungkin karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi sehingga lebih mudah robek.
Sendi-sendi yang Terkena
Predileksi OA pada sendi-sendi tertentu, yaitu carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, apofiseal tulang belakang, lutut dan paha. Sedangkan OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral, atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua.
Riwayat Penyakit
Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama, tapi berkembang secara perlahan-lahan.
1. Nyeri Sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang sering membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu mungkin menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain.
2. Hambatan Gerakan Sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.
3. Kaku Pagi
Nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti setelah duduk dalam waktu cukup lama atau setelah bangun tidur.
4. Krepitasi
Adanya rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
5. Pembesaran Sendi (deformitas)
Salah satu sendi (seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang.
Pemeriksaan Fisik
1. Hambatan Gerak
Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Biasanya bertambah berat dengan makin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur.
2. Krepitasi
Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.


3. Pembekakan Sendi yang Seringkali Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100 cc) atau karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi.
4. Tanda-tanda Peradangan
Nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tidak meninjol dan timbul belakangan.
5. Deformitas Sendi yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan tulang dan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri.
6. Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan tulang belakang dengan stenosis spinal.
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1. Radiografi Sendi yang Terkena
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)
b. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi

2. Pemeriksaan Laboratorium
Darah tepi (hemoglobin, lekosit, LED) dalam batas normal. Pemeriksaan imunologis (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal.
Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologis
a. Edukasi
Betujuan agar pasien mengetahui tentang penyakitnya, bagaimana menjaga agar tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
b. Terapi Fisik dan Rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melindungi sendi yang sakit.
c. Penurunan Berat Badan
Berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan karena berat badan berlebihan merupakan faktor yang memperberat OA.
2. Terapi Farmakologis
a. Analgesik Oral Non Opiat
Analgesik yang dapat dipakai antara lain asetaminofen, propoksifen HCL, atau asam salisilat.
b. Analgesik Topikal
c. Obat Anti Inflamasi Non Steriod (OAINS)
Obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Karena pemakaian biasanya untuk jangka panjang, efek samping utama adalah gangguan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal. Penggunaan jangka panjang dianjurkan dengan tambahan suatu penghambat asam lambung (omeprazol, lansoprazol, pantoprazol) atau zat pelindung mukosa misoprostol untuk mencegah terjadinya tukak lambung. Kini tersedia OAINS selektif, yang terutama menghambat cyclo-oxygenase-2 (COX-2) dan kurang mempengaruhi COX-1, sehingga efek samping lebih kecil, antara lain nabumeton, meloxicam, celecoxib.
d. Chondroprotective Agent
Yang dimaksud Chondroprotective Agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Obat –obatan ini digolongkan dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs)
• Tetrasiklin dan derivatnya, contohnya doxycycline, mampu menghambat kerja enzim MMP. Sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan, belum dipakai pada manusia.
• Asam hialuronat disebut viscosupplement karena dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial. Obat ini diberikan secara intraartikular. Asam hialuronat berperan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Pada binatang percobaan, obat ini dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan kemotaksis sel-sel inflamasi.
• Glikosaminoglikan dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam degradasi tulang rawan dan merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia.
• Kondroitin sulfat, merupakan bagian dari proteoglikan pada tulang rawan sendi. Tulang rawan sendi terdiri atas 2% sel dan 98% matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk struktur yang utuh sehingga mampu menahan beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan. Efektivitas kondroitin sulfat mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu anti inflamasi, efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan serta anti degradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif.
• Vitamin C, dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Dalam penelitian ternyata bermanfaat dalam terapi OA.
• Superoxide dismutase, mampu menghilangkan superoxide dan hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxide dapat merusak kondrosit secara langsung.
• Steroid intra artikuler, pada artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi kadang dijumpai pada pasien OA, karena itu kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya masih kontroversial.
3. Terapi Bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)
Pendahuluan
Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah gagal ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolisme yang mendasari adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 ml/dl.
Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, jarang pada pria sebelum masa remaja sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.


Etiopatogenesis
Gejala artritis akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya, penyakit ini termasuk kelainan metabolik. Kelainan ini berhubungan dengan kinetik asam urat yaitu hiperurisemia. Hiperurisemia terjadi karena:
1. Pembentukan asam urat yang berlebihan
a. Gout primer metabolik, disebabkan sintesis yang bertambah
b. Gout sekunder metabolik, disebabkan pembentukan asam urat berlebihan karena penyakit lain seperti leukimia terutama bila diobati dengan sitostatik, psoriasis, polisitemia vera dan mielofibrosis.
2. Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal
a. Gout primer renal, terjadi karena gangguan ekskresi asam urat di tubuli distal ginjal yang sehat. Penyebabnya tidak diketahui.
b. Gout sekunder renal, disebabkan oleh kerusakan ginjal, misalnya pada glomerulonefritis kronik atau gagal ginjal kronik.
3. Perombakan dalam usus yang berkurang, namun secara klinis hal ini tidak penting.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada arthritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab, yaitu kristal monosodium urat. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
• Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
• Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas
Manifestasi Klinik
1. Stadium Artritis Gout Akut
Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa, pada saat bangun pagi terasa sakit hebat dan tidak dapat berjalan. Bersifat monoartikuler dengan keluhan berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi paling sering pada MTP-1. Bila proses berlanjut dapat mengenai sendi lain, yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku. Pada serangan akut yang tidak berat keluhan dapat hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian diuretik dan penurunan atau peningkatan asam urat. Penurunan asam urat secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.
2. Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan dari stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda radang akut, pada aspirasi sendi didapatkan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut meskipun tanpa keluhan. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar dapat timbul serangan akut lebih sering, lebih berat dan mengenai beberapa sendi. Maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.
3. Stadium Artritis Gout Menahun
Umumnya terdapat pada pasien yang tidak berobat secara teratur. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh, kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achiles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.
Diagnosis
Diagnosis spesifik adalah dengan menemukan kristal urat dalam tofi. Tetapi tidak semua pasien memilki tofi, sehingga tes ini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuan-penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis:
• Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP-1
• Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom
• Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin
• Hiperurisemia
Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologis
a. Edukasi
b. Pengaturan diet (rendah purin)
c. Istirahat sendi
2. Terapi farmakologis
a. Stadium akut
• Kolkisin
Kolkisin berkhasiat anti radang lemah dengan efek baik pada serangan akut (efektivitas 90%). Tidak menurunkan kadar urat darah dan tidak berdaya analgetis. Mekanisme kerja diduga berdasarkan penghambatan sekresi zat-zat kemotaktis dan/atau glikoprotein dari granulosit yang berperan dalam rangkaian proses peradangan, sehingga prosesnya dihentikan. Pengendapan urat berkurang karena pembentukan laktat dan fagosit dihambat. Dosis pada serangan akut oral 1 mg, lalu 0,5 mg setiap 2 jam sampai maksimum 8 mg atau timbul diare. Juga digunakan pada terapi prevensi bersama alopurinol atau urikosurik guna mencegah provokasi serangan dengan dosis 0,5-1,5 mgmalam hari setiap dua hari.
• Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
• Kortikosteroid atau ACTH
Diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout akut yang mengenai banyak sendi.


b. Stadium interkritik dan menahun
• Alopurinol
Derivat pirimidin ini efektif sekali untuk menormalkan kadar urat dalam darah dan kemih yang meningkat. Berdaya mengurangi sintesa urat atas dasar persaingan substrat dengan purin. Purin seperti hipoxanthin dan xanthin dirombak oleh xanthinoxydase (XO) menjadi asam urat. Tetapi dengan adanya alopurinol, XO melakukan aktivitasnya terhadap obat ini sebagai ganti purin. Akibatnya perombakan hipoxanthin dikurangi dan sintesa urat menurun. Kadar urat berangsur turun, tofi menyusut dan batu urat tidak dibentuk lagi. Setelah 1-3 minggu kadar urat mencapai nilai normal. Dosis 1 x 100 mg p.c.,bila perlu dinaikkan 100 mg setiap minggu sampai maksimum 10 mg/kgBB/hari.
• Obat urikosurik
 Benzbromaron
Derivat benzofuran ini berdaya urikosuris dengan jalan merintangi penyerapan kembali urat di tubuli proksimal. Ekskresinya diperbanyak dan kadar urat darah menurun. Dosis oral permulaan 1 x 50 mg d.c., berangsur dinaikkan sampai maksimum 300 mg, pemeliharaan 50 – 200 mg/hari.
 Probenesid
Derivat asam benzoat ini berdaya urikosuris, mekanisme sama dengan benzbromaron. Dosis oral 2 x 250 mg d.c. selama satu minggu, lalu 2 x 500 mg, bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimum 2 g/hari.

ARTRITIS REUMATOID
Pendahuluan
Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan sendi, seringkali juga mengenai organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menimbulkan kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.
Patogenesis
Penyakit ini terjadi akibat rantai peristiwa imunologi yang menyebabkan proses destruksi sendi. Berhubungan dengan faktor genetik, hormonal, infeksi dan heat shock protein. Penyakit ini lebih banyak mengenai wanita daripada pria, teritama pada usia subur.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan kerusakan rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini umumnya mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris.
Kriteria diagnostik American Rheumatism Association (ARA) untuk AR adalah sebagai berikut:
1. Kaku pagi hari
Kaku pagi hari pada persendian dan sekitarnya sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Artritis pada 3 persendian atau lebih
Pembengkakan atau efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan.
4. Artritis simetris
Keterlibatan sendi yang sama seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi.

5. Nodul reumatoid
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
Perubahan gambaran radiologis yang khas bagi AR harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.
Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien.
1. Tes faktor reumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasienartritis reumatoid, terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Lekosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.


Penatalaksanaan
1. OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umumnya diberikan sejak masa dini penyakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi. OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasinya masih diperlukan obat lain yang termasuk dalam golongan DMARD (Disease Modifying Rheumatoid Arthritis Drug).
2. DMARD
a. Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Khasiat dan efektivitasnya lebih rendah dibanding DMARD lainnya, meskipun toksisitasnya juga lebih rendah. Dosis klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari.
b. Sulfasalazin
Untuk pengobatan AR sulfasalazin dalam bentuk enteric coated tablet mulai dosis 1 x 500 mg/hari, kemudian ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dosis diturunkan hingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika tidak menunjukkan khasiat dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan diganti DMARD yang lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD yang lain.
c. D-penicillamin
Obat ini kurang disukai lagi karena bekerja sangat lambat, umumnya diperlukan waktu satu tahun untuk mencapai remisi adekuat. Dosis 1 x 250 - 300 mg/hari kemudian ditingkatkan setiap 2 - 4 minggu sebesar 250 – 300 mg/hari hingga mencapai dosis 4 x 250 - 300 mg/hari.
d. Garam Emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai gold standard bagi DMARD. AST diberikan secara IM dimulai dengan dosis percobaan pertama 10 mg, kedua 20 mg 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Jika respon belum memuaskan diberikan dosis tambahan 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Garam emas saat ini mulai banyak ditinggalkan karena sering menimbulkan efek samping yang berat. Efek samping AST antara lain pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Auranofin, preparat garam emas oral, sangat berguna bagi pasien AR yang menunjukkan efek samping terhaap AST, diberikan dalam dosis 2 x 3 mg/hari.
e. Methotrexate
Methotrexate mulai bekerja lebih pendek (3 – 4 bulan) jika dibanding DMARD yang lain.Pemberian dimulai dalam dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua)/minggu. Sebagian besar pasien akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terdapat kemajuan dalam 3 – 4 bulan setelah pengobatandosis harus segera ditingkatkan. Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, tapi seperti penggunaan sitostatik lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada pasien AR yang progresif dan gagal dikontrol dengan DMARD standar lainnya.
f. Cyclosporin – A
Cyclosporin – A (CS-A) memiliki efek sebagai antibiotik dan imunosupresan. CS-A umumnya diberikan dalam dosis awal 2,5 – 3,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat ditingkatkan 0,5 – 1 mg/kgBB/hari setiap 1 – 2 bulan sehingga mencapai 5 mg/kgBB/hari. Jika dosis maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan pasien telah berada dalam keadaan stabil sekurang-kurangnya 3 bulan, dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB/hari setiap 1 atau 2 bulan. Jika tidak dijumpai respon klinis setelah penggunaan CS-Adosis maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus dihentikan.
g. Leflunomide (Lef)
Merupakan DMARD terbaru yang digunakan sejak akhir tahun 1998. Khasiat setara dengan MTX, sehingga baik untuk digunakan pada pasien yang gagal diobati dengan MTX atau yang tidak dapat mentolerir MTX. Mekanisme kerja diduga berhubungan dengan kemampuan menekan aktivitas enzim tirosine kinase dan menghambat biosintesis pirimidin de novo melalui penghambatan enzim dihidroorotat dehidrogenase. Lef juga menghambat proses mitogen dan sel Tyang dirangsang oleh IL-2. Dosis awal 100 mg/hari selama 3 hari berturut turut kemudian dilanjutkan 10 – 20 mg/hari.
h. Modulator inflamasi biologis / Inhibitor TNF α
1) Etanercept (Eta)
Obat ini bekerja dengan mengikat TNF α dalam sirkulasi secara kompetitif sehingga TNF α tidak dapat menempati reseptornya pada permukaan sel, dengan demikian aktivitas biologisnya akan terhambat. Eta sangat baik digunakan sebagai kombinasi dengan MTX karena mempercepat perbaikan radang sendi pada RA. Onset Eta sangat cepat, dimana dapat menimbulkan perbaikan radang sendi dalam waktu 1-2 minggu saja. Dosis 25 mg subkutan dalam interval dua kali seminggu.
2) Infliksimab (IFX)
IFX bekerja dengan mengikat TNF α dalam sirkulasi dan mencegah terjadinya interaksi antara TNF α dengan reseptornya pada sel inflamasi dan akhirnya dapat membersihkan TNF α dari sirkulasi. Seperti Eta, IFX juga menghambat aktivitas TNF α. IFX umumnya digunakan bersama MTX untuk mengtasi gejala AR dan menghambat progresi kerusakan struktural pada pasien AR aktif yang tidak menunjukkan respon adekuat pada pengobatan tunggal denhgan MTX. Dosis pertama IFX 3 mg/kgBB digunakan dalam larutan infus yang diberikan selama 2 jam, kemudian diulangi pada minggu ke 2 dan ke 6 dan selanjutnya setiap 8 minggu.
3. Bridging therapy
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi hari. Hal ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.





REFERENSI
Daud Rizasyah. Artritis reumatoid Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1174-81.
Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek. Kapita selekta kedokteran Edisi Ketiga Jilid I.Media Aesculapius FKUI. 2001. 535-9; 542-6.
Soeroso Joewono, Isbagio Harry, Kalim Handono, Broto Rawan, Pramudiyo Riardi. Osteoartritis Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1195-291.
Tehupeiory Edward Stefanus. Artritis pirai (gout) Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007; 1208-10.
Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-obat penting Khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingya. Elex Media Komputindo. 2002. 306-23.

Comments :

1
www.katobengke.com mengatakan...
on 

wah lengkap bangat nih.....postingannya..............
aq mau jadikan resensiku bolehkagak.........